Sabtu, 14 April 2012

PENGARUH ARUS, OMBAK DAN ANGIN PADA SAAT OLAH GERAK KAPAL( DEDY I )


Nama : Dedy Iskandar Daulay
NRP    : 46 10 11 88 51

PENGARUH ARUS, OMBAK DAN ANGIN PADA SAAT OPERASIONAL
A.    Pengaruh arus
ü  kapal yang untuk keseluruhan berada di dalam arus, akan menjalani suatu garis hasil (resultan) dari laju kapan dan arah/kekuatan arus. Sebaliknya, sebelum berlabuh jangkar ataupun sandar di dermaga, lebih dahulu kapal harus di putar melawan arus.
ü  Pada kapal yang belabuh jangkar di dalam arus, hasil kemudi adalah sama seperti pada kapal yang sedang melaju, juga pada saat jangkarnya menggaruk.
ü  Apabila kapal untuk sebagian saja berada di dalam arus, maka ia akan berputar oleh karena pengaruh arus tersebut ( pada waktu masuk atau keluar dermaga maupun sungai)
B.     Pengaruh ombak
ü  Oleh gerakan menggaruk laju kapal akan berkurang dan apabila air masuk ke kapal terpaksa harus mengurangi laju atau memutar haluan.
ü   Kapla yang sedang diam atau hanya mempunyai laju kecil saja akan duduk melintang terhadap ombak.
ü  Ombak dari belakang, kapal sukar dikemudikan dengan baik (merewang).
ü  Kapal yang sedang mundur maka buritan akan mencari ombak.                   Pengaruh ombak = pengaruh angin.
C.    Pengaruh angin
ü  Kapal yang sedang berhenti, selalu akan duduk melintang, sehingga angin datang dari muka atau ke belakangtrhadap arah melintang tergantung dari bangun atas kapal dan bentuk kapal di bawah air.(gambar, 15a).
ü  Pada kapal yang sedang berlayar / melaju, hauan kapal akan selalu mencari angin.
ü   Pada kapal yang sedang mundur buritan akan selalu mencari angin (gambar 15c).
ü  Di tengah laut kapal itu akan menjalani garis hasil (diagonal) dari haluan yang di kemudikan, laju dan pengaruh angin. Sudut antara garis haluan dan garsi hasil itu di sebut Rimban (leeway).
Besarnya sudut rimban tergantung dari :
a)      Laju kapal
b)      Kekuatan angin
c)      Sudut antara haluan dan arah angin
d)     Luas badan kapal di atas garis air
e)      Hambatan samping.
Rimban adalah sudut antara garis lunas dan air lunas, atau sudut antara garis hasil dan garis haluan yang di kemudikan.(gambar 15d).
                                                angin
          1     diam                     
                                                                                                                                 R                 
                                                        Gambar 15b                              Gambar 15d
                   2a                              








 

                                                        
                  2b                                  Gambar 15c          
Gambar  15a








ORANG JATUH DI LAUT
Salah satu musibah yang sering terjadi di kapal adalah orang jatuh di laut. Apapun alasannya, sesuai dengan ketentuan peraturan keselamatan jiwa di laut maupun demi rasa kemanusiaan, maka kapal yang melihat orang jatuh kelaut harus melakukan upaya pertolongan semaksimal mungkin dengan tetap memperhatikan keselamatan kapal dan awaknya sndiri. Berkaitan dengan itu ada beberapa hal yang harus di perhatikan dalam memberi pertolongan terhadap orang yang jatuh ke laut yaitu :
a.      Kewajiban ABK yang melihat orang jatuh ke laut

1.      Bertteriak keras “orang jatuh di laut, di sebelah kanan/kiri
2.      Melemparkan pelampungm penolong yang terdekat pada orang tersebut
3.      Mengawasi orang yang jatuh itu.

b.      Tindakan perwira jaga
a.      Menolong orang jatuh di laut dalam kondisi cuaca normal
1.      Memberhentikan mesin dan kemudi cikar ke arah orang yang jatuh itu,
2.      Kapal di putar keliling sampai sampai tiba ke tempat pelampung tersebut (putaran tunggal),
Sekoci di awaki dan di area sampai di dekat permukaan air
3.      Tindakan untuk menolong orang tersebut secara cepat dan aman, tergantung dari keadaan cuaca.
                                 Pada umumnya kapal di olah gerak sehingga segera duduk berhenti di atas angin dan sedekat mungkin dengan orang yang jatuh tersebut dan kemudian menurunkan sekoci di sisi olak
b.      Menolong orang jatuh ke laut dalam kondisi cuaca tidak normal
Pabilah keadaan tidak mengijinkan untuk menurunkan sekoci maka, “ orang “ itu ditolong dengan tali yang di-ikatkan pada sebuah alat pengapung.
Diperairan sempit kapal tidak dapat diputar keliling. Disini kapal harus mundur dengan kekuatan penuh untuk menuju ke tempat kecelakaan tersebut.


c.       Menolong orang jatuh kelaut dengan metoda putaran williamson
Kita dapat pula menerapkan yang disebut “ putaran williamson”. Terutama pada angin dan ombk dari belakang, olah gerak “ putaran” ini ternyata dapat dipercaya.
-          Putarlah kemudi cikar ke sisi dimana “orang” itu jatuh telegraph mesin                   “ stand bay “
-          Jika kapal sudah berubah haluan ± 60 ̊  - 70 ̊ , segera kemudi di balas dan kemudi dicikar ke sisi yang lain.
-          Setelah kapal duduk pada haluan berlawanan, mesin di stop dan kapal kita hanyutkan sampai di tempat “ orang yang jatuh “.

d.      Menolong orang jatuh kelaut dengan metoda putaran ganda (elips)

Olah gerak ini dapat diterapkan ganda dengan sukses jika kita berlayar dengan angin dan ombak dari muka.
-          Segera setelah teriakan “orang jatuh dilaut”, di sebelah kiri/kanan , “putarlah kemudi cikar”
-          Jika kapal sudah berputar 180̊, maka kemudi dibalas dan berhaluan berlawanan           ( H = x ̊ + 180̊ );
-          Jika lju kapal yang sementara itu mengurang sudah kembali seperti semulah, maka sekali lagi putarlah kemudi cikar sampai pada haluan semulah.
-          Kemudi stop mesin dan berlayar sesuai keadaan setempat.








                                                  Gambar 21a

FAKTOR PENGARUH OLAH GERAK KAPAL


Kemampuan Olah Gerak kapal akan dipengaruhi oleh faktor dari DALAM dan faktor dari LUAR. Terlebih dulu di bab ini akan di uraikan tentang Faktor Luar, yang berkaitan dengan keadaan laut dan perairan dimana kapal berada, kemudian faktor dari faktor tetap dan tidak tetap.

Untuk mengetahui kemampuan olah gerak (Maneovering Ability) maka harus dipahami terlebih dahulu tentang faktor apa saja yang mempengaruhinya. Pada Maneovering Trials Suatu kapal, dibuat data - data tentang karakter olah geraknya pada macam - macam situasi pemuatannya. Misalnya pada saat kapal kosong, penuh atau sebagian terisi muatan antara lain data tentang Turning Circle, Zigzag Manoevoring, Crash Stop dll.

·         Manoeuvering Characteristic kapal, adakalanya dipasang di anjungan berbentuk gambar, sehingga memudahkan sewaktu - waktu diperlukan, misalnya oleh pandu sebelum olah geraknya maupun para perwiranya.
·         Pengaruh keadaan laut dan perairan ikut menunjang keberhasilan olah gerak, walaupun kadang - kadang diperlukan bantuan kapal pandu jika kapal sulit untuk melakukan sendiri.
·         Faktor manusia, olah gerak sangat menarik untuk di pelajari, oleh karena itu pengaruh manusia sangan menunjang.
Dalam hal ini olah gerak memerlukan pengalaman dan pengetahuan teori yang memadai. Seperti banyak terjadi pada beberapa kecelakaan kapal yang terjadi, banyak di sebabkan oleh faktor Cuaca dan Peralatan yang kurang memadai serta manusianya.

FAKTOR YANG MEMPENGARUHI
1.      Faktor dari Luar : Disini dimaksudkan sebagai faktor yang datangnya dari luar kapal, mencangkup dua hal penting yaitu keadaan laut dan keadaan perairan. Hal ini perlu dipehami mengingat keterbatasan kemampuan kapal menghadapi cuaca dan perairan maupun laut yang berbeda - beda, serta gerakan kapal di air juga memerlukan ruang gerak yang cukup.

·         Keadaan Laut .
Pengaruh Angin : Angin sangat mempengaruhi olah gerak, terutama di tempat - tempat yang sempit dan sulit dalam keadaan kapal yang kosong, walauoun pada situasi tertentu angin dapat di pergunakan untuk mempercepat olah gerak kapal.

·         Pengaruh Laut .
Dibedakan menjadi 3 yaitu, Jika kapal mendapat ombak : 
1). Dari Depan,
2). Dari Belakang,
3). Dari Bawah.

1). OMBAH DARI DEPAN
Karena satabilitas kapal mengasilkan GML yang cukup besar, maka pada waktu mengangguk, umumnya kapal cenderung mengangguk lebih cepat dari pada periode mengoleng. Bila ombak dari depan dan kapal mempunyai kecepatan konstan maka T kapal lebih besar T ombak.

2). OMBAK DARI BELAKANG
kapal menjadi sulit dikemudikan, haluan merewang bagi kapal yang dilengkapi kemudi Otomatis, penyimpangan kemudi yang besar dapat merusak sistemnya. Dan kemudi rusak atas hantaman ombak.

3). OMBAK DARI BAWAH
kapal akan mengoleng, pada kemiringan kapal yang besar dapat membahayakan stabilitas kapal. Olengan ini makin membesar, jika terjadi Sinkronisasi antara periode olengan kapal dengan periode olengan semu, kemungkinan kapal terbalik dan tenggelam.


PERIODE OLENGAN KAPAL adalah lamanya olengan yang dijalani kapal, dihitung dari posisi tegak, olengan terbesar kiri / kanan , kembali tegak, olengan terbesar di sisi kanan / kiri dan kembali keposisi tegak. 

PERIODE GELOMBANG SEMU adalah waktu yang diperlukan untuk menjalani satu kali panjang gelombang, dari puncak gelombang ke puncak gelombang berikut.

Pada kapal berlayar dalam ombak, sebaiknya kecepatan kapal dikurangi, haluan dibuat sedemikian rupa sehingga ombak datang dari arah diantara haluan dan arah melintang kapal. Secara khusus olah gerak kapal menghadapi Cuaca buruk.

·         Pengaruh Arus .
Arus adalah gerakan air dengan arah dan kecepatan tertentu, menuju kesuatau tempat tertentu pula. Dikenal arus tetap dan arus tidak tetap, arah arus ditentukan "KE" dan angin "DARI" misalnya arus Timur bebrarti arus "ke" Timur.
Rimban yang disebkan oleh arus tergantung dari arah dan kekuatan arus dengan arah dan kecepatan kapal. Semua benda yang terapung dipermukaan arus dan didalmnya, praktis akan bergerak dengan arah dan kekuatan arus tersebut.
Diperairan bebas umumnya arus akan menganyutkan kapal, sedangkan diperairan sempit atau tempat - tempat tertentu arus akan memutar kapal. Pengaruh arus terhadap olah gerak kapal sama sedangan pengaruh angin.

·         Keadaan Perairan .
Pengaruh perairan dangkal dan sempit : 
Pengertian dangkal dan sempit disini sangat relatif sifatnya, tergantung dalam dan lebarnya perairan dengan sarat dan lebar kapal itu.Pada perairan sempit, jika lunas kapal berada terlalu dekat dengan dasar perairan maka akan terjadi ombak haluan / buritan serta penurunan permukaan air diantara haluan dan buritan di sisi kiri / kanan kapal serta arus bolak - balik. Hal ini disebabkan karena pada waktu baling - baling bawah bergerak ke atas terjadi pengisapan air yang membuat lunas kapal mendekati dasar perairan, terutama jika kapal berlayar dengan kecepatan tinggi, maka kapal akan terasa menyentak - nyentak dan dapat menyebabkan kemungkinan menyentuh dasar perairan. Gejala penurunan tekanan antara dasar laut dengan lunas kapal berbanding terbalik dengan dengan kwadrat kecepatannya.

PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN TENTANG YURISDIKSI DAN KOMPETENSI MAHKAMAH PELAYARAN( dedy daulay )


BAB I
PENDAHULUAN

A.    LATAR BELAKANG
Negara Kesatuan Republik Indonesia sebagai negara kepulauan (Archipelagic State) memiliki lebih kurang 17.500 pulau, dengan total panjang garis pantai mencapai 81.000 km serta luas wilayah laut yang mencakup 70 persen dari keseluruhan luas wilayahnya. Dengan kondisi geografis yang demikian itu, kedudukan laut atau perairan mempunyai peranan penting, baik ditinjau dari aspek-aspek ekonomis, komunikasi dan transportasi, perdagangan, pariwisata, perlindungan dan pelestarian alam, maupun untuk kepentingan pertahanan keamanan.
Ditinjau dari aspek potensi dan pemanfaatannya, sumberdaya kelautan secara umum dapat dibagi menjadi tiga bagian, yaitu:
ü  potensi dan pemanfaatan sumberdaya hayati;
ü  potensi dan pemanfaatan sumberdayanon-hayati; dan
ü  potensi dan pemanfaatan jasa kelautan.

Dalam kaitannya dengan jasa kelautan, fungsi laut secara konvensional adalah sebagai media transportasi. Tidak terkecuali dalam era modern saat ini, dimana sarana transportasi cenderung lebih mengutamakan kenyamanan dan waktu tempuh yang relatif cepat, sarana pengangkutan laut masih tetap diperlukan. Sarana transportasi laut, yaitu kapal laut, masih menjadi alat yang belum tergantikan oleh sarana transportasi lain, seperti pesawat udara atau sarana transportasi darat. Terutama dalam pengangkutan barang (cargo) baik itu domestik maupun internasional. Oleh karena itu pengembangan armada pelayaran masih penting diupayakan, baik dengan cara memodernisir sarana pelayaran maupun menambah jumlah armada kapal.
Kondisi transportasi laut dalam negeri baik sarana maupun prasarana keselamatan pelayaran hingga saat ini tidak mendukung tertibnya kelancaran angkutan laut di Tanah Air. Di samping ketertiban pelayanan dan pengoperasian sarana dan prasana relatif masih rendah, juga banyak faktor turut melingkupinya, seperti lemahnya kepedulian (awareness) dari pemilik kapal dan perusahaan dalam menerapkan sistem keselamatan yang efektif serta implementatif di lapangan, kelaiklautan kapal yang lebih berorientasi pada sertifikasi yang notabene tidak didukung dengan pemeriksaan yang seksama, juga pengawasan yang dilaksanakan oleh pemerintah terhadap pelaksanaan (drilling) dari persyaratan-persyaratan keselamatan pelayaran tidak konsisten. Kondisi tersebut juga diperburuk lagi dengan tingkat keamanan di pelabuhan, di kapal, dan di laut yang seharusnya sesuai ketentuan internasional, yakni dengan penerapan ISPS Code, namun dalam kenyataannya belum sepenuhnya terwujud.

Laporan-laporan kecelakaan pelayaran pada umumnya didominasi oleh permasalahan teknis (terbalik dan tabrakan) akibat aktivitas operasi yang tidak reliable. Di kapal-kapal itu alat-alat keselamatan tidak dipelihara sehingga tiga dari empat alat keselamatan tidak berfungsi, terutama pada pelayaran penumpang dan penyeberangan. Menurut konsep dasar keselamatan pelayaran, kapal yang hendak berlayar harus berada dalam keadaan laik laut (seaworthiness). Artinya, kapal layak untuk menghadapi berbagai resiko dan kejadian secara wajar dalam pelayaran. Kapal layak menerima muatan dan mengangkutnya serta
melindungi keselamatan muatan dan anak buah kapal (ABK)-nya.

Kelaikan kapal mensyaratkan bangunan kapal dan kondisi mesin dalam keadaan baik. Nakhoda dan ABK harus berpengalaman dan bersertifikat. Perlengkapan, store dan bunker, serta alat-alat keamanan memadai dan memenuhi syarat. Sebagian besar kapal yang beroperasi di perairan Indonesia adalah kapal-kapal tua dengan umur di atas 8,5 tahun. Kapalkapal tersebut itu pada umumnya dikelola oleh sumber daya manusia yang
kualitas profesionalismenya rendah.
Kecelakaan-kecelakaan kapal yang terjadi umumnya menunjukkan tidak ditaatinya konvensi pelayaran baik internasional maupun nasional oleh perusahaan pelayaran di dalam negeri, terutama, Undang-Undang No.21/1992 tentang Pelayaran dan peraturan-peraturan dari IMO. Pada tahun 2005 kecelakaan kapal di Indonesia menunjukkan kenaikan yang sangat signifikan. Sampai bulan Juni 2005 kecelakaan kapal telah mencapai 26 kasus. Namun, sebagian besar kasus kecelakaan kapal tidak diajukan ke Mahkamah Pelayaran, sehingga sesungguhnya jumlah kecelakaan laut mungkin lebih banyak lagi.
Dewan Maritim Indonesia (DMI) menyatakan bahwa 72% dari 1.551 kasus kecelakaan laut yang terjadi di Indonesia karena kesalahan manusia (human error). Pernyataan Dewan Maritim Indonesia ini didukung oleh hasil penelitian independen yang dilakukan oleh International Maritime Organization (IMO) di Indonesia pada 1990-2001. Human error sangat dominan dalam menyumbangkan terjadinya kecelakaan kapal di lautan
Indonesia. Dari hasil penelitian tersebut, diperoleh kesimpulan bahwa terdapat lima pihak baik langsung maupun tidak langsung yang memberi kontribusi terjadinya kecelakaan laut dengan korban mencapai 2.684 jiwa. Kelima pihak itu adalah anak buah kapal (ABK) dan Nahkoda 80,9%, pemilik kapal (shipowner) 8,7%, syahbandar 1,8%, biro klasifikasi 3,1% dan pandu 5,5%. 2
Meskipun angka kecelakaan kapal cukup tinggi, akan tetapi penanganan insiden kecelakaan kapal pada umumnya masih bersifat administratif dan dokumentatif yang tidak menyelesaikan akar permasalahan keselamatan pelayaran. Sebagai negara kepulauan terbesar di dunia, Indonesia belum memiliki Mahkamah Maritim atau Admiralty Court seperti di negara-negara lain. Mahkamah Pelayaran yang ada saat ini hanya dapat memberikan penindakan displin. Penindakan inipun hanya terbatas kepada nahkoda. Akibatnya, saat terjadi kecelakaan, hakim dan jaksa yang menangani perkara tersebut tidak terlalu memahami masalah yang menjadi penyebabnya.


Keberadaan Mahkamah Pelayaran di Indonesia tidak terlepas dari peran Pemerintah Hindia Belanda semasa masih berkuasa di Indonesia. Mahkamah Pelayaran untuk pertama kalinya dibentuk berdasarkan Ordonanntie op den Raad voor de Scheepvaart (Staatsblad 1934 No. 215) yang mulai berlaku pada tanggal 1 April 1938. Kedudukan Mahkamah pada masa Hindia Belanda ada dalam lingkungan Departemen van Marine.

Mengingat Mahkamah Pelayaran hingga saat ini hanya satu yang berada di Jakarta, sementara luas lingkup yurisdiksinya mencakup seluruh Indonesia, maka Mahkamah Pelayaran dipastikan memikul beban tugas yang sangat berat. Karena dengan makin meningkatnya intensitas kegiatan pelayaran di wilayah perairan Indonesia, maka potensi untuk meningkatnya kasus kecelakaan di berbagai penjuru perairan Indonesia sangat besar.

Satu hal lagi yang menambah beban persoalan bagi Mahkamah Pelayaran yaitu bahwa dalam pelaksanaannya Mahkamah akan terhambat oleh kompetensi yang dimilikinya. Karena meskipun namanya “Mahkamah”, akan tetapi jika dibandingkan dengan Mahkamah Maritim atau Admiralty Court yang ada di negara-negara lain, yurisdiksi dan kompetensi Mahkamah Pelayaran Indonesia bukanlah bandingan yang seimbang. Yurisdiksi Mahkamah Maritim di beberapa negara maju sangat luas, sebagaimanadikemukakan di bawah ini:

Admiralty courts, also known as maritime courts, are courts
exercising jurisdiction over all maritime contracts, torts, injuries and
offenses. In the United States, the federal district courts have jurisdiction
over all admiralty and maritime actions. In Great Britain, contrary to most
other courts that are governed by the common law the admiralty courts
are governed by civil law as this is the law that the Law of the Sea is
based upon.

Berkaitan dengan hal-hal sebagaimana diuraikan di atas, dan juga mengingat beban tugas Mahkamah Pelayaran di masa datang akan lebih berat lagi, maka diperlukan suatu telaahan mengenai berbagai aspek yang berkaitan dengan peran, tugas dan fungsi, yurisdiksi serta kompetensi Mahkamah Pelayaran dalam menyelesaikan berbagai kasus yang terjadi dalam kaitan kecelakaan kapal di wilayah perairan yang menjadi yurisdiksi Republik Indonesia.






BAB II
TINJAUAN PENGATURAN TENTANG
TUGAS DAN FUNGSI MAHKAMAH PELAYARAN

A.  FASE AWAL PERKEMBANGAN PENGATURAN PELAYARAN DI
      KEPULAUAN NUSANTARA
Sudah sejak lama umat manusia telah memanfaatkan laut. Namun, pemanfaatan sumber-sumber daya yang terkandung di laut pun tentunya berkembang sesuai dengan kemampuan umat manusia itu sendiri. Salah satu bentuk pemanfaatan laut yang tertua usianya adalah fungsinya sebagai media penghubung antara satu tempat dengan tempat lainnya,3 karena teknologi yang termaju pada saat peradaban itu baru mencapai tingkat kemampuan pembuatan perahu-perahu atau kapal-kapal layar sederhana.
Dalam kaitan fungsi ini, laut ibarat sarana jalan bebas hambatan yang tidak memiliki batas, dan terbuka untuk digunakan oleh siapa pun dan untuk kepentingan apapun, mulai dari perdagangan, pencarian wilayah koloni baru, hingga ajang peperangan. Fungsi dan peranan laut sebagai media perhubungan ditunjukkan oleh bukti-bukti arkeologis yang ditemukan saat ini, yang menunjukkan bahwa pelayaran (seafaring) di wilayah Mediterania telah mulai dilakukan sekitar 11.000 tahun yang lampau, yaitu pada akhir zaman Paleolithic.
Sementara itu kepandaian membuat perahu diperkirakan telah berkembang di pesisir daratan Asia Tenggara pada sekitar 7.000 tahun lalu yang membawa perubahan besar pada pola pemukiman dan penyebaran penduduk ke wilayah pesisir. Perkembangan yang terjadi di wilayah ini selanjutnya ikut mempercepat perkembangan teknologi pelayaran. Namun demikian, keterampilan berlayar di kalangan penduduk pesisir di kepulauan Nusantara diperkirakan berkembang lebih akhir.
Mengingat letak geografisnya yang strategis, sejak awal abad ke-17 Kepulauan Nusantara (Indonesia) telah menjadi salah satu kawasan perdagangan yang penting di Asia Tenggara. Posisi strategis pelabuhanpelabuhan laut di kepulauan nusantara yang menghubungkan daerah-daerah pedalaman dengan beberapa negara di kawasan Asia Tenggara dan wilayah dunia lainnya, memberikan gambaran bahwa sejak lama sudah ada rute-rute pelayaran internasional melalui perairan nusantara. Sehingga perairan di dalam dan di sekitar lingkungan kepulauan ini merupakan perairan yang sibuk dengan aktivitas pelayaran baik antar pulau maupun internasional.
Kondisi tersebut semakin berkembang terutama setelah masuknya kapal-kapal ekspedisi Belanda datang ke kepulauan nusantara dan mendirikan Vereenigde Oost Indische Compagnie (VOC) di Batavia pada tahun 1602. Dalam perkembangan selanjutnya, kedudukan VOC digantikan olehPemerintah Kolonial Hindia Belanda (Nederlandsch Indie) yang mulai menata rute-rute pelayaran di kepulauan nusantara terutama setelah tahun 1864. Pemerintah Kolonial Hindia Belanda menugaskan W. Cores de Fries, seorang perwira pelayaran Belanda, untuk membuka rute-rute pelayaran yang menghubungkan 16 pelabuhan di Jawa, Sumatera, Kalimantan, Sulawesi, Nusa Tenggara dan Maluku.
Pelayaran (laut) selanjutnya menjadi moda pengangkutan atau perhubungan yang sangat penting bagi Indonesia. Perkembangan pelayaranatau pengangkutan laut, baik yang domestik maupun antar negara (internasional), menjadi salah satu media perhubungan yang dianggap paling sesuai dengan kondisi geografis Indonesia yang hampir 75% wilayahnya terdiri atas perairan (laut). Bukan saja karena melalui moda angkutan ini dapat menjangkau wilayah-wilayah yang jaringanperhubungannya (terutama sarana perhubungan darat) belum memadai, akan tetapi karena pengangkutan laut lebih efisien dan murah.
Dengan semakin pesatnya pertumbuhan jaringan pelayaran, baik pelayaran antar pulau maupun internasional, maka resiko terjadinya kecelakaan atau insiden pelayaran di wilayah perairan Indonesia pun semakin besar. Oleh sebab itu, sejak masa kolonial pun pemerintah Hindia Belanda sudah melakukan penataan pelayaran, termasuk pembentukan sebuah Raad van Tucht atau ”Dewan Tata tertib” yang ditetapkan dengan Ordonanntie Nomor 119 Tahun 1873. Dewan ini mempunyai tugas dan fungsi:
a.       Menetapkan ketentuan-ketentuan rumah tangga dan tata tertib di kapal-kapal Hindia Belanda;
b.      Melakukan pemeriksaan terhadap sebab-sebab kecelakaan kapal, jika terdapat dugaan dan disertai dengan alasan kuat bahwa peristiwa atau bencana atas suatu kapal terjadi karena kelalaian atau kesalahan nakhoda atau perwira kapal yang terkait.
Perkembangan dunia pelayaran yang didukung dengan kemajuan teknologi perkapalan, disamping lebih meramaikan kegiatan pelayaran di wilayah dan disekitar laut kepulauan nusantara juga berpotensi menimbulkan kenaikan jumlah kecelakaan kapal. Oleh karena itu, aturan-aturan tentang keselamatan pelayaran dan perkapalan pun dipandang perlu untuk dikeluarkan. Diantara peraturan tersebut adalah:
ü  SOLAS 1929, yang merupakan ketentuan internasional mengenai keselamatan kapal, yang kemudian ditetapkan sebagai ketentuan. Scheppen Ordonanntie/Scheppen Verordening (SO/SV 1935) atau yang dikenal dengan ordonansi dan peraturan kapal 1935.
ü  Untuk keperluan pengaturan pengangkutan laut pada umumnya, pada tahun 1931 diberlakukan Wetboek van Koophandel (WvK) atau Kitab Undang-Undang Hukum Dagang Buku II;
ü  Untuk kepentingan pelayaran, pada tahun 1936 dikeluarkan Indische Sheepsvaart Wet, atau Undang-Undang Pelayaran Hindia Belanda 1936.
Dengan keluarnya sejumlah peraturan di bidang pelayaran dan perkapalan tersebut, maka Raad van Tucht pun dianggap perlu untuk disesuaikan dan lebih disempurnakan. Menyikapi hal ini maka pada tahun 1934 dibentuk Raad Voor de Scheepvaart (Mahkamah Pelayaran) dengan landasan Ordonanntie op den Raad Voor de Scheepvaart, Staatsblad 215 Tahun 1934, yang mulai berlaku efektif pada tanggal 1 April 1938 (Staatsblad Nomor 2 Tahun 1938).
Kedudukan Raad Voor de Scheepvaart berdasarkan ordonansi 1938 tersebut adalah sebagai lembaga pemeriksa kecelakaan pelayaran dan sekaligus juga sebagai sebuah pengadilan khusus pelayaran.
Keberadaan Raad Voor de Scheepvaart ini dilanjutkan pada masa sesudah kemerdekaan, hanya saja namanya berubah menjadi Mahkamah Pelayaran, dengan tugas dan fungsi yang relatif hampir sama. Hanya saja pengaturannya tidak terdapat dalam satu peraturan khusus mengenai Mahkamah Pelayaran, melainkan pada beberapa peraturan perundangundangan yang mengatur atau yang berkaitan dengan pelayaran.

B.   PENGATURAN MAHKAMAH PELAYARAN PADA MASA HINDIA BELANDA
Sebagaimana telah disebutkan di atas, pengaturan tentang Mahkamah Pelayaran (Raad voor de Scheepvaart) pada masa Hindia Belanda terdapat dalam Ordonansi tentang Mahkamah Pelayaran (Ordonanntie op de Raad Voor de Scheepvaart) dalam Staatsblad No. 215 Tahun 1934 yang kemudian diubah dengan Staatsblad 1947-66 Tahun 1947. Di dalam Ordonansi ini diatur tentang tugas, susunan dan tata cara persidangan dari Mahkamah Pelayaran secara rinci.
Menurut Pasal 1 Ordonansi tersebut, Mahkamah Pelayaran (Raad Voor de Scheepvaart) memiliki yurisdiksi untuk:
1.      Mengadakan pemeriksaan dan mengambil keputusan atas hal-hal yang tercantum dalam Pasal 25 ayat (4), (7), (8) dan (11) Ordonansi Kapal (S. 1935 No. 66). Ketentuan dimaksud adalah:
a.       Ayat (4):
“Direktur Jenderal Perhubungan Laut dapat, jika terjadi bencana kapal yang berat, mengundang Mahkamah Pelayaran untuk mengadakan pemeriksaan tentang sebab-sebab terjadinya bencana itu, juga tentang kesalahan orang-orang yang bersangkutan, dan jika perlu tentang kecakapan orang yang bersangkutan”.
b.      Ayat (7):
“Jika bagi Mahkamah pelayaran dalam pemeriksaan ternyata bahwa bencana disebabkan karena tiundakan atau kelalian dari nakhoda atau seorang Perwira kapal, maka Mahkamah Pelayaran dapat memberi hukuman disiplin kepadanya dengan hukuman teguran atau mencabut wewenang untuk kapal Indonesia yang berlayar di perairan luar selama waktu tertentu, tidak lebih dari 2 tahun”.
c.       Ayat (8):
“Jika telah mengadakan pemeriksaan Mahkamah Pelayaran berpendapat, bahwa Nakhoda atau Perwira kapal yang kecakapannya diragukan, tidak cakap, maka Mahkamah Pelayaran dengan keputusan yang disertai dengan alasan yang kuat dapat menyatakan yang bersangkutan tidak berwenang untuk tugas dalam satu atau lebih jabatan tertentu di kapal Indonesia yang berlayar di perairan luar”.
d.      Ayat (11)
“Berdasarkan fakta-fakta yang diketahui kemudian atau keadaankeadaan khusus atas usulan Direktur Jenderal Perhubungan Laut, juga permohonan yang berkepentingan atau pengusaha pelayaran pada siapa ia terkahir bekerja, oleh Mahkamah Pelayaran dapat dikembalikan wewenang yang dicabut kepada yang berkepentingan berdasarkan ketentuan dalam ayat (8), jika Mahkamah Pelayaran berpendapat bahwa ia cakap kembali untuk memenuhi tugas-tugas jabatannya”.

2.      Memutuskan mengenai hal-hal yang diatur dalam Pasal 373a KUH Dagang, yang yaitu dalam hal seorang nakhoda melakukan sesuatukesalahan terhadap kapal, muatan atau penumpang. Pasal 373a KUHD menyatakan sebagai berikut:

”Nakhoda yang tidak dengan suatu cara telah bersikap tidak pantas terhadap kapal, muatan dan para penumpang, dengan keputusan Mahkamah Pelayaran dapat dicabut wewenangnya untuk berlayar sebagai nakhoda kapal Indonesia, selama waktu tertentu yang tidak lebih dari 2 tahun”.

Perlu dijelaskan bahwa ketentuan yang dimaksud oleh pasal tersebut adalah bahwa pengaduan harus dilakukan oleh Pengusaha Kapal atau penumpang yang bersangkutan, yang harus dimasukkan dalam jangka waktu 3 minggu setelah tibanya kapal di tempat pertama sesudah terjadinya perbuatan melawan hukum yang dilakukan oleh Nakhoda atau Perwira Kapal.

3.      Melakukan pemeriksaan dan atau mengambil keputusan dalam semua hal yang oleh undang-undang dibebankan kepadanya. Mahkamah tidak dapat mengambil keputusan lain selain mengenai hal yang telah ditetapkan menurut peraturan yang berlaku dan menjadi tugasnya untuk memeriksa atau mengerjakannya.

Selanjutnya juga dikemukakan dalam Pasal 25 ayat (5) Ordonansi Kapal-Kapal 1935 tersebut bahwa:
“Mahkamah Pelayaran wajib memenuhi undangan Direktur Jenderal Perhubungan Laut”
Dengan ketentuan tersebut, Mahkamah Pelayaran dalam menjalankan tugasnya semata-mata hanya atas undangan yang disampaikan oleh Direktur Jenderal Perhubungan Laut. Namun, hasil pemeriksaannya tidak dilaporkan atau dipertanggungjawabkan kepada Direktur Jenderal, melainkan kepada Menteri Perhubungan.
Adapun susunan keanggotaan Mahkamah Pelayaran menurut Ordonansi Mahkamah Pelayaran S. 1934-215 adalah sebagai berikut:
a.        Seorang Perwira Tinggi Angkatan Laut atau Nakhoda Pelayaran Besar Niaga/Negara bertindak sebagai Ketua merangkap anggota;
b.      Tiga orang nakhoda Pelayaran Besar Niaga/Negara atau Perwira Menengah Angkatan Laut sebagai Anggota;
c.       Seorang Sarjana Hukum sebagai Anggota
d.      Seorang ahli Mesin Kapal Kepala atau Perwira Menengah Teknik Angkatan Laut sebagai Anggota Luar Biasa
e.       Seorang Sarjana Hukum sebagai Sekretaris.

Dalam Pasal 2 Ordonansi yang bersangkutan juga dikemukakan bahwa untuk mengisi jabatan-jabatan tersebut dapat pula diangkat perwira purnawirawan atau pensiunan pegawai dalam pangkat atau keahlian yang sama apabila tidak terdapat tenaga-tenaga yang masih dalam dinas aktif. Dalam hal Ketua atau Sekretaris berhalangan dalam menjalankan tugasnya, Mahkamah Pelayaran memilih salah seorang anggota untuk menjadi Ketua atau Sekretaris. Pengangkatan dan pemberhentian Ketua, para Anggota dan Sekretaris Mahkamah Pelayaran ditetapkan oleh Menteri Perhubungan. Selama beberapa waktu, Ketua, anggota dan Sekretaris Mahkamah Pelayaran terdiri dari Nakhoda Pelayaran Besar Niaga dan ahli hukum dari kalangan sipil.
Tata cara persidangan Mahkamah Pelayaran diatur secara rinci dalam Ordonansi. Berkaitan dengan sidang-sidangnya, menurut Pasal 3, Mahkamah bersidang di Jakarta setiap kali ada keperluan dan dipimpin oleh Ketua, yang para anggotanya dipanggil pada waktunya oleh Sekretaris. Setelah menerima undangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 25 ayat (4) Ordonansi Kapal 1935, atau pengaduan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 373a KUHD, Mahkamah Pelayaran segera bersidang dan mengadakan pemeriksaan. Sidang Mahkamah terbuka untuk umum, kecuali jika diputuskan, dengan alasan yang disebutkan dalam surat keputusan, sidang dilakukan secara tertutup baik sebagian ataupun seluruhnya.
Selanjutnya juga ditetapkan bahwa keputusan Mahkamah Pelayaran diambil di dalam sidang yang terbuka, dan harus memuat alasan-alasan yang menjadi landasannya. Keputusan Mahkamah serta pelaksanaannya dinyatakan sebagai tidak terikat kepada cara dan bentuk lain selain yang ditetapkan dalam ordonansi. Juga bila dianggap perlu berdasarkan alasan apapun, Mahkamah dapat, membentuk sebuah komisi dari kalangan mereka untuk melakukan penyelidikan setempat. Komisi ini terdiri dari tiga orang.






C.  MAHKAMAH PELAYARAN MENURUT KETENTUAN PERATURAN
PERUNDANG-UNDANGAN NASIONAL
Setelah Proklamasi Kemerdekaan 17 Agustus 1945, pengaturan pelayaran di wilayah perairan Indonesia masih diatur dengan Ordonansi Pelayaran Indonesia (Indische Scheepvaartswet Staatsblad 1936-700). Pengaturan ini menjadi payung bagi sejumlah peraturan perundangundangan nasional yang mengatur pelayaran, meskipun di dalamnya tidak ada ketentuan rinci mengenai Mahkamah Pelayaran.
Pengaturan tentang tugas pokok dan fungsi Mahkamah Pelayaran hingga saat ini masih tersebar dalam beberapa peraturan perundangundangan nasional Indonesia. Beberapa peraturan yang memuat pengaturan tentang Mahkamah Pelayaran dapat disebutkan, antara lain:
1.        UU No. 21 Tahun 1992 tentang Pelayaran;
2.        Peraturan Pemerintah Nomor 1 Tahun 1998 Tentang Pemeriksaan Kecelakaan Kapal;
3.        Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 8 Tahun 2004 Tentang Perubahan Atas Peraturan Pemerintah Nomor 1 Tahun 1998 Tentang Pemeriksaan Kecelakaan Kapal.
4.        PP No. 51 Tahun 2002 Tentang Perkapalan

1.       Undang-Undang Nomor 21 Tahun 1992 tentang Pelayaran

Undang-Undang Nomor 21 Tahun 1992 tidak mengatur secara tegas Mahkamah Pelayaran dalam pasal-pasalnya. Pasal 93 undang-undang ini hanya menyebutkan mengenai kewenangan sebuah lembaga yang ditunjuk oleh pemerintah, yang berwenang untuk memeriksa sebabsebab terjadinya kecelakaan. Lembaga Mahkamah Pelayaran ini ditegaskan sebagai murni lembaga pemerintah dan bukan sebuah lembaga peradilan sebagaimana diatur dalam UU Pokok Kekuasaan Kehakiman.
Pasal 93 Undang-Undang Nomor 21 Tahun 1992 menyatakan sebagai berikut:
(1) Terhadap setiap kecelakaan kapal diadakan pemeriksaan oleh pejabat pemerintah yang berwenang untuk mengetahui sebabsebab terjadinya kecelakaan.
(2) Terhadap hasil pemeriksaan tersebut pada ayat (1) dapat diadakan pemeriksaan lanjutan untuk diambil keputusan oleh lembaga yang ditunjuk untuk itu.
(3) Ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dan ayat (2) diatur lebih lanjut dengan Peraturan Pemerintah.
Penjelasan Pasal 93 ayat (2) menyatakan sebagai berikut:
(2)  Yang dimaksud dengan lembaga dalam ayat ini adalah lembagapemerintah, bukan lembaga peradilan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 10 Undang-undang Nomor 14 Tahun 1970 tentang Pokok-pokok Kekuasaan Kehakiman. Lembaga tersebut berwenang melakukan pemeriksaan lanjutan untuk mengambil keputusan atas kecelakaan kapal :
a.       kapal tenggelam;
b.      kapal terbakar;
c.       kapal tubrukan yang mengakibatkan kerusakan berat;
d.      kecelakaan kapal yang menyebabkan terancamnya jiwa manusia dan kerugian harta benda;
e.       kapal kandas dan rusak berat.
Lembaga dimaksud bertugas terbatas pada menjatuhkan sanksi berupa hukuman administratif yang berkaitan dengan profesi kepelautan, yang pada saat Undang-undang ini ditetapkan disebut Mahkamah Pelayaran. Sebagaimana dikemukakan dalam Pasal 93 UU No. 21 tahun 1992 tentang Pelayaran di atas, Mahkamah Pelayaran merupakan lembaga yang ditunjuk untuk melakukan pemeriksaan lanjutan terhadap kecelakaan kapal. Pemeriksaan dilakukan untuk mengetahui sebab-sebab terjadinya kecelakaan kapal dan/atau menentukan ada atau tidaknya kesalahan atau kelalaian dalam penerapan standar profesi kepelautan yang dilakukan oleh Nakhoda atau pimpinan kapal dan/atau Perwira Kapal dalam kaitan terjadinya kecelakaan kapal. Hasil pemeriksaan tersebut kemudian akan dipakai sebagai pedoman langkah-langkah yang diperlukan untuk mencegah terjadinya kecelakaan kapal dengan sebab-sebab kecelakaan yang sama. Di saping itu, pemeriksaan dimaksudkan sebagai suatu bentuk pembinaan dan pengawasan bagi tenaga profesi kepelautan.
Pemeriksaan kecelakaan menurut ketentuan Pasal 93 UU No. 21/1992 tersebut menyangkut dua bentuk, yaitu:
a.    Pemeriksaan kecelakaan kapal pendahuluan (BAPP) yang dilakukan oleh pejabat yang ditunjuk oleh Menteri, dalam hal ini dilakukan oleh Syahbandar atau pejabat lainnya. Pemeriksaan ini dimaksudkan untuk mencari keterangan atau bukti-bukti awal terjadinya kecelakaan kapal.
b.    Pemeriksaan lanjutan dilaksanakan berdasarkan hasil evaluasi oleh pejabat yang disebut dalam butir (a) di atas, yaitu bahwa berdasarkan pemeriksaan pendahuluan ada dugaan kesalahan atau kelalaian dalam penerapan profesi kepelautan yang dilakukan oleh Nakhoda atau pemimpin kapal dan/atau perwira kapal atas terjadinya kecelakaan tersebut. Dalam kaitan ini pemeriksaan lanjutan dilakukan Mahkamah Pelayaran.

Pasal 93 ayat (2) UU No. 21/1992 menyebutkan pula bahwa dalam suatu peristiwa kecelakaan kapal terkandung dua aspek, yaitu:



1).          Aspek pelayaran:
a)   Bidang Nautis Teknis
Bidang nautis teknis adalah mencari sebab-sebab terjadinya kecelakaan kapal, seperti: terbakar, tubrukan, tenggelam, kebocoran, kandas, terbalik dan sebagainya.
b.)  Bidang Disiplin
Bidang disiplin ini menetapkan hukuman terhadap pihakpihak yang terkait, setelah diketahui secara nyata bersalah mengakibatkan kecelakaan kapal.
c).  Bidang Administrasi
Bidang administrasi ini adalah menetapkan dan menjatuhkan hukuman terhadap Nakhoda dan/atau pimpinan kapal yang ternyata dengan jelas dan pasti setelah dilakukan pemeriksaan, melakukan perbuatan yang tidak pantas terhadap kapal, muatan atau penumpangkapal.
2).        Aspek Pidana
Suatu kecelakaan kapal yang mengakibatkan kerugian harta benada dan jiwa manusia, yang diduga disebabkan oleh adanya kelalaian dan/atau kesengajaan dari Nakhoda/pimpinan kapal dan atau perwira kapal lainnya.
3).        Aspek Perdata
Akibat yang timbul dari suatu peristiwa kecelakaan atau bencana kapal adalah adanya tuntutan ganti rugi yang diajukan pihakpihak yang merasa dirugikan, seperti pemilik kapal, operator kapal, pemilik muatan atau barang dan penumpang, sebagai akibat kecelakaan kapal.

2.       Peraturan Pemerintah Nomor 1 Tahun 1998 Tentang Pemeriksaan
Kecelakaan Kapal.
Peraturan Pemerintah Nomor 1 Tahun 1998 Tentang Pemeriksaan Kecelakaan Kapal merupakan pelaksanaan dari Pasal 93 UU No. 21 tahun 1992 tentang Pelayaran. Peraturan Pemerintah ini selain merupakan atribusi dari UU No. 21 Tahun 1992, juga merupakan upaya pembaruan terhadap ketentuan-ketentuan yang telah ada sebelumnya yang terpisah-pisah dalam beberapa peraturan, yaitu:
a)        Ordonansi Kapal Tahun 1935;
b)        S. 1947 – 66 mengenai perubahan/penyempurnaan tugas dan wewenang, pemeriksaan dalam sidang dan pembela/kuasa hukum tersangkut, dan pemeriksaan kembali;
c)        S. 1949 – 103 tentang perubahan perijinan pemberitahuan bagi Ketua, Anggota dan Sekretaris dari Raad voor de Scheepvaart yang akan pergi ke luar kota;
d)       Keputusan Presiden no. 28 tahun 1971 tentang Perubahan Susunan keanggotaan Mahkamah Pelayaran, yang kemudian diubah lagi dengan Keputusan Presiden No. 32 tahun 1984 tentang Susunan Keanggotaan Mahkamah Pelayaran;
e)        Keputusan Menteri Perhubungan No. PM 3/U/PHB-74, tanggal 6 Agustus 1974, yang mengatur Tata Cara Kerja dan Hubungan antara departemen Perhubungan dengan Mahkamah Pelayaran;
f)         Keputusan Menteri Perhubungan No. PM 57/U/PHB-74, tanggal 6 Agustus 1974, yang mengatur tentang Kedudukan Pelayaran dan Sekretariat Mahkamah Pelayaran, yang disempurnakan kembali dengan Keputusan Menteri Perhubungan No. 57/OT/PHB-78, tanggal 8 Maret 1978;
g)        Keputusan Menteri Perhubungan No. KM 109/U/PHB-82 tentang Petunjuk Umum untuk Syahbandar
Peraturan Pemerintah No. 1 tahun 1998 terdiri dari 7 Bab dan 60 pasal. Menurut PP ini kecelakaan kapal meliputi kapal tenggelam, kapal terbakar, kapal tubrukan, kecelakaan kapal yang menyebabkan terancamnya jiwa manusia dan kerugian harta benda, dan kapal kandas. Lingkup berlakunya pemeriksaan kecelakaan kapal menurut PP ini adalah semua kecelakaan kapal yang terjadi di wilayah perairan Indonesia dan kecelakaan kapal berbendera Indonesia yang terjadi di luar wilayah perairan Indonesia.
Kecelakaan kapal yang diperiksa menurut Pasal 2 PP No. 1 tahun 1998 adalah kecelakaan kapal sebagaimana dimaksud dalam penjelasan Pasal 93 UU No. 21 tahun 1992. sedangkan ketentuan pemeriksaan terhadap kecelakaan kapal yang terjadi di perairan Indonesia merupakan upaya tanggap terhadap banyaknya kapal berbendera asing yang berada di perairan Indonesia. Karena dengan banyaknya kapal berbendera asing yang masuk ke wilayah Indonesia maka potensi terjadinya kecelakaan kapal di wilayah ini kemungkinan akan meningkat. Atas dasar pertimbangan ini, maka ketentuan pemeriksaan kecelakaan kapal dianggap perlu diterapkan terhadap lalu lintas kapal-kapal yang memasuki atau sedang berada di perairan Indonesia, sekalipun kapal-kapal yang mengalami kecelakaan itu berbendera asing.
Pemeriksaan kecelakaan kapal meliputi pemeriksaan pendahuluan dan pemeriksaan lanjutan. Ketentuan ini sama dengan ketentuan tentang pemeriksaan kapal dalam Ordonansi Raad voor de Sheepvaart S.1934 No. 215.. Pasal 4 PP No. 1 tahun 1998 menyatakan bahwa setiap orang yang berada di atas kapal yang mengetahui di kapalnya terjadi kecelakaan kapal sesuai batas kemampuannya, wajib melaporkan kecelakaan kapal kepada syahbandar pelabuhan terdekat atau perwakilan Republik Indonesia terdekat. Pasal 5 PP ini mengatakan bahwa nakhoda atau pemimpin kapal yang (a) kapalnya mengalami kecelakaan kapal; (b) menyebabkan kapal lain mendapat kecelakaan kapal; (c) mengetahui kapal lain mendapatkecelakaan kapal; dan (d) membawa awak kapal atau penumpang darikapal yang mengalami kecelakaan kapal. wajib melaporkan adanyakecelakaan kapal kepada syahbandar terdekat, dan juga kepadaperwakilan pemerintah Republik Indonesia terdekat apabila peristiwa kecelakaan tersebut terjadi di luar wilayah perairan Indonesia.
Atas dasar laporan kecelakaan kapal, pejabat yang memiliki kewenangan untuk melakukan pemeriksaan pendahuluan kecelakaan kapal adalah (1) Syahbandar; dan (2) pejabat pemerintah yang ditunjuk oleh Menteri Perhubungan. Hasil pemeriksaan pendahuluan dituangkan dalam Berita Acara Pemeriksaan Pendahuluan yang disampaikan secara tertulis kepada Menteri Perhubungan dengan dilampiri kesimpulan hasil pemeriksaan pendahuluan, yakni memuat pendapat mengenai sebab-sebab kecelakaan.
Jika Menteri berpendapat bahwa ada dugaan kesalahan atau kelalaian dalam menerapkan standar profesi kepelautan yang dilakukan oleh Nakhoda yang menyebabkan terjadinya kecelakaan kapal, maka dalam jangka waktu 14 hari setelah diterimanya laporan pemeriksaan pendahuluan kecelakaan kapal, Menteri meminta Mahkamah Pelayaran untuk melakukan pemeriksaan lanjutan kecelakaan kapal.
Hasil pemeriksaan lanjutan oleh Mahkamah Pelayaran dalam jangka waktu 180 hari disampaikan kepada Menteri Perhubungan dan para pihak yang terkait dengan kecelakaan kapal.
3.       Peraturan Pemerintah Nomor 8 Tahun 2004 Tentang Perubahan
Atas Peraturan Pemerintah Nomor 1 Tahun 1998 Tentang Pemeriksaan Kecelakaan Kapal. Peraturan Pemerintah ini pada dasarnya tidak mengubah secara substansial kewenangan Mahkamah Pelayaran, akan tetapi hanya mengubah beberapa ketentuan dalam Peraturan Pemerintah Nomor 1 Tahun 1998 tentang Pemeriksaan Kecelakaan Kapal, khususnya menyangkut organisasi Mahkamah Pelayaran. Ketentuan yang diubah adalah Pasal 23, Pasal 24, Pasal 28, dan penambahan Pasal 57A yang berkaitan dengan masa pensiun personel Mahkamah Pelayaran. Ketentuan Pasal 23 berkaitan dengan Susunan Mahkamah Pelayaran. Menurut Pasal 23 (baru) tersebut, susunan Mahkamah Pelayaran adalah sebagai berikut:
a.       Mahkamah Pelayaran dipimpin oleh seorang Ketua.
b.      Untuk dapat diangkat sebagai Ketua Mahkamah Pelayaran, seorang calon harus:
1)      memenuhi persyaratan sebagai Anggota Mahkamah Pelayaran;
2)      memenuhi persyaratan untuk menduduki jabatan struktural sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku bagi Pegawai Negeri Sipil
Selanjutnya Peraturan Pemerintah No. 8 tahun 2004 mengubah ketentuan Pasal 24 PP No. 1 tahun 1998 tentang jumlah Anggota Mahkamah Pelayaran. Dalam ketentuan yang baru, jumlah anggota Mahkamah Pelayaran sebanyak-banyaknya 15 (lima belas) orang yang mempunyai kualifikasi pendidikan sebagai berikut:
a.       Sarjana Hukum;
b.      Ahli Nautika Tingkat II;
c.       Ahli Teknika Tingkat II; atau
d.      Sarjana Teknik Perkapalan.
Perubahan Pasal 28 adalah terkait dengan syarat-syarat yang harus dipenuhi untuk dapat diangkat menjadi Anggota Mahkamah Pelayaran. Menurut ketentuan yang baru, seorang calon harus memenuhi persyaratan :
a.       bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa;
b.      setia kepada Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945;
c.       memiliki masa kerja sebagai Pegawai Negeri Sipil sekurangkurangnya 12 (dua belas) tahun;
d.      memiliki kualifikasi pendidikan sebagai Sarjana Hukum, Ahli Nautika Tingkat II, Ahli Teknika Tingkat II atau Sarjana Teknik Perkapalan.
Bagi calon Anggota Mahkamah Pelayaran yang memiliki kualifikasi pendidikan sebagai Ahli Nautika Tingkat II atau Ahli Teknika Tingkat II, yang bersangkutan dipersyaratkan telah mengikuti pendidikan dan pelatihan Kesyahbandaran Tingkat I dan Marine Inspector Tingkat A.
4.       Peraturan Pemerintah Nomor 51 Tahun 2002 Tentang Perkapalan

Pengaturan tentang tugas wewenang Mahkamah Pelayaran juga diatur dalam PP No. 51 Tahun 2002 Tentang Perkapalan. Pasal 88 PP ini menyatakan sebagai berikut:
1.      Setiap terjadi kecelakaan kapal, nakhoda dan atau pemilik kapal pada kesempatan pertama wajib melaporkannya kepada syahbandar di pelabuhan terdekat atau kepada perwakilan Republik Indonesia terdekat apabila kecelakaan terjadi di luar negeri.
2.      Untuk setiap kecelakaan kapal sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) wajib diadakan pemeriksaan oleh pejabat yang ditunjuk oleh Menteri.
3.      Hasil pemeriksaan sebagaimana dimaksud dalam ayat (2), dibuat dalam berita acara pemeriksaan pendahuluan dan apabila perlu dapat dibuat dalam berita acara pemeriksaan tambahan.
4.      Hasil pemeriksaan kecelakaan kapal sebagaimana dimaksud dalam ayat (3) harus dievaluasi dan dinilai dengan tujuan :
a.       meningkatkan penyelenggaraan keselamatan kapal;
b.      menentukan apakah sertifikat kapal yang bersangkutan masih dapat diberlakukan;
c.       menentukan perlu tidaknya dilakukan pemeriksaan lanjutan.
5.      Berita acara pemeriksaan pendahuluan dan/atau berita acara pemeriksaan tambahan, setelah dilengkapi dokumen dan data pendukung lainnya sehubungan dengan terjadinya kecelakaan kapal dikirimkan kepada Menteri paling lambat 14 (empatbelas) hari terhitung sejak tanggal pemeriksaan berakhir.
6.      Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pelaporan, pemeriksaan kecelakaan kapal, pembuatan berita acara sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), ayat (2), ayat (3) dan ayat (4) diatur dengan Keputusan Menteri.




Selanjutnya dalam ketentuan Pasal 89 PP tersebut dinyatakan sebagai berikut:

a)       Terhadap hasil pemeriksaan kecelakaan kapal sebagaimana dimaksud dalam Pasal 88 dapat dilakukan pemeriksaan lanjutan oleh Mahkamah Pelayaran.
b)      Pemeriksaan lanjutan oleh Mahkamah Pelayaran sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dilakukan untuk mengambil keputusan tentang sebab-sebab terjadinya kecelakaan kapal dan menjatuhkan sanksi administrasi terhadap awak kapal.
c)      Ketentuan lebih lanjut mengenai lembaga, tata cara pemeriksaan kecelakaan kapal sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dan ayat (2) diatur tersendiri dalam Peraturan Pemerintah.

5.       Rancangan Undang-Undang Pengganti UU No. 21 tahun 1992 tentang Pelayaran
Pada saat ini RUU tentang Pelayaran, yang akan menggantikan UU No. 21 tahun 1992 tentang Pelayaran, sudah disusun. Dari beberapa Pasal dalam RUU tersebut terlihat ada upaya untuk membuat pengaturan yang lebih menyempurnakan ketentuan menyangkut Mahkamah Pelayaran yang sebelumnya belum diatur secara rinci dalam UU No. 21 tahun 1992 tentang Pelayaran. Ketentuan dalam RUU tersebut adalah sebagai berikut:
a.                     Pasal 112
“Setiap kecelakaan kapal diadakan pemeriksaan oleh pejabat pemerintah yang berwenang untuk mengetahui sebab-sebab terjadinya kecelakaan kapal.”
b.         Pasal 113
(1) Pemeriksaan kecelakaan kapal sebagaimana dimasud dalam Pasal 112t dilaksanakan oleh:
a.       Syahbandar, setelah menerima laporan kecelakaan kapal dari pelapor;
b.      Pejabat Pemerintah yang ditunjuk setelah menerima laporan kecelakaan kapal dari Pimpinan Perwakilan Republik Indonesia dan/atau dari pejabat Pemerintah negara setempat yang berwenang.
(2). Pemeriksaan pendahuluan kecelakaan kapal sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dilaksanakan untuk mencari keterangan dan/atau bukti-bukti awal atas terjadinya kecelakaan kapal.
(3). Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pemeriksaan pendahuluan kecelakaan kapal diatur dengan Peraturan Pemerintah.



c.          Pasal 114
1)        Terhadap hasil pemeriksaan kecelakaan kapal sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dapat diadakan pemeriksaan lanjutan untuk diambil keputusan oleh Mahkamah Pelayaran yang bersifat independen.
2)        Dalam melaksanakan pemeriksaan lanjutan kecelakaan kapal sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), Mahkamah Pelayaran bertugas :

a.       meneliti sebab-sebab kecelakaan kapal dan menentukan ada atau tidak adanya kesalahan atau kelalaian dalam penerapan standar profesikepelautan yang dilakukan oleh Nahkoda ataupemimpin kapal dan/atau perwira kapal atas terjadinya kecelakaan kapal;
b.      menjatuhkan sanksi administratif kepada Nahkoda atau pemimpin kapal dan/atau perwira kapal yang memiliki sertifikat keahlian Pelaut yang dikeluarkan oleh Pemerintah yang melakukan kesalahan atau kelalaian dalam menerapkan standar profesi kepelautan.

3)       Dalam pemeriksaan lanjutan, pemilik kapal atau operator kapal wajib menghadirkan nakhoda atau pimpinan kapal dan/atau anak buah kapal.
4)      Untuk dapat memberikan keputusan yang sebaik-baiknya, Mahkamah Pelayaran dapat menghadirkan pejabat pemerintah di bidang keselamatan pelayaran dan pihak pihak terkait lainnya.
5)      Ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), ayat (2), ayat (3) dan ayat (4) diatur lebih lanjut dengan Peraturan Pemerintah.
d.         Pasal 116
1)      “Mahkamah Pelayaran berwenang memeriksa tubrukan yang terjadi antara kapal niaga dengan kapal negara termasuk kapal perang.
2)      “Ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) diatur lebih lanjut dengan Peraturan Pemerintah.”
Pengaturan tentang Mahkamah Pelayaran dalam RUU pelayaran ini memang tidak terlalu rinci, dan mengatribusikan pengaturan selanjutnya kepada Peraturan Pemerintah. Namun, satu hal yang perlu dicatat sebagai kemajuan di sini adalah bahwa dalam RUU Pelayaran ini setidak-tidaknya sudah diatur secara tegas tugas dan fungsi Mahkamah Pelayaran dalam ketentuan batang tubuh undang-undang. Hal ini berbeda dengan ketentuan yang tercantum dalam UU No. 21 Tahun 1992 yang hanya menyebutkan tugas dan fungsi Mahkamah Pelayaran dalam penjelasan.



BAB III
ANALISIS KOMPETENSI DAN YURISDIKSI
MAHKAMAH PELAYARAN
A.              PERAN DAN FUNGSI MAHKAMAH PELAYARAN DALAM
MENINGKATKAN KESELAMATAN PELAYARAN DI INDONESIA
Sebagai negara kepulauan dengan dua per tiga wilayah yang terdiri dari perairan, aspek pelayaran tentunya merupakan hal yang sangat penting bagi Indonesia. Wilayah perairan kepulauan Indonesia pun merupakan jalur utama pelayaran dunia, sehingga memerlukan penanganan secara khusus, terutama dari segi pengaturan secara hukum, sehingga aktivitas pelayaran dapat berjalan sesuai dengan standar dan komitmen internasional serta kepentingan nasional.
Masalah pelayaran telah diatur dalam Undang-Undang No. 21 tahun 1992 tentang Pelayaran. Dalam Bab I Ketentuan Umum dinyatakan bahwa pelayaran adalah segala sesuatu yang berkaitan dengan angkutan di perairan, kepelabuhan, serta keamanan dan keselamatannya. Pelayaran sebagai salah satu moda transportasi diselenggarakan dengan tujuan memperlancar arus perpindahan orang dan/atau barang melalui perairan dengan mengutamakan dan melindungi pelayaran nasional, dalam rangka menunjang, menggerakkan, dan mendorong pencapaian tujuan pembangunan nasional, memantapkan perwujudan wawasan nusantara serta memperkukuh ketahanan nasional.
Dalam kenyataannya, pelayaran nasional masih dibelit berbagai masalah. Banyak faktor melingkupinya, seperti lemahnya kepedulian (awareness) dari pemilik kapal dan perusahaan dalam menerapkan sistem keselamatan yang efektif serta implementatif di lapangan. Kelaiklautan kapal hanya berorientasi pada sertifikasi yang notabene hanya macan kertas saja. Sementara pengawasan dari pemerintah terhadap pelaksanaan dan pemenuhan persyaratan-persyaratan keselamatan pelayaran tidak konsisten.
Saut Gurning, ahli maritim dari ITS mengemukakan bahwa kisruhnya manajemen pelayaran di Indonesia selama ini ini diakibatkan oleh fokus strategi bisnis yang mengandalkan rendahnya biaya, namun tidak memperhatikan kepentingan penumpang dan pengguna jasa kapal. Mayoritas kapal yang beroperasi di perairan Indonesia sampai saat ini adalah kapalkapal tua dengan umur di atas 8,5 tahun. Kapal-kapal “uzur” itu pun dikelola oleh sumber daya manusia yang profesionalismenya rendah.
Kelayakan kapal mensyaratkan bangunan kapal dan kondisi mesin dalam keadaan baik. Nakhoda dan anak buah kapal harus berpengalaman dan bersertifikat. Perlengkapan, store dan bunker, serta alat-alat keamanan kondisinya memadai dan memenuhi syarat. Disamping itu, selama pelayaran di laut kapal tidak mencemari lingkungan. Akan tetapi, semua persyaratan itu hampir tidak pernah dipenuhi.
Menurut konsep dasar keselamatan pelayaran, kapal yang hendak berlayar harus berada dalam keadaan laik laut (seaworthy). Artinya, kapal yang bersangkutan secara teknis telah diperiksa dan dianggap layak untuk menghadapi berbagai resiko dan kejadian secara wajar dalam pelayaran. Kapal tersebut juga layak menerima muatan dan mengangkutnya serta dalam keadaan yang mampu melindungi keselamatan muatan, penumpang, dan anak buah kapal (ABK)-nya.
Oleh karena itu, pemerintah perlu membuat mekanisme pengawasan track record kecelakaan bagi perusahaan pelayaran yang lalai mengindahkan aturan keselamatan dengan konsekuensi pada perizinan perusahaan tersebutUntuk menjamin kelaiklautan kapal, kesulitan kapitalisasi perusahaan pelayaran dalam meremajakan dan memelihara armada kapal perlu didukung oleh aksesibilitas pendanaan.
Laporan-laporan kecelakaan pelayaran didominasi oleh permasalahan teknis (terbalik dan tabrakan) akibat aktivitas operasi yang tidak reliable. Di kapal-kapal itu alat-alat keselamatan tidak dipelihara sehingga menurut penelitian pada umumnya tiga dari empat alat keselamatan tidak berfungsi. Kondisi kapal seperti ini terutama pada kapal yang melayani pelayaran penumpang dan penyeberangan.
Sementara itu, penanganan insiden kecelakaan kapal masih bersifat administratif dan dokumentatif yang tidak menyelesaikan akar permasalahan keselamatan pelayaran. Sebagai negara kepulauan terbesar di dunia, negeri ini juga belum memiliki “Mahkamah Maritim” seperti di negara-negara lain. Akibatnya, saat terjadi kecelakaan kasus perkara kecelakaan kapal diajukan ke Peradilan Umum. Namun karena baik Hakim maupun Jaksa yang menangani perkara demikian tidak terlalu memahami masalah yang menjadi penyebabnya, maka keputusan pengadilan mengenai masalah hukum yang timbul dari kecelakaan kapal sering dianggap tidak memuaskan.
Memberdayakan lembaga pemeriksa kecelakaan kapal yang ada saat ini, yaitu Mahkamah Pelayaran, juga bukan masalah mudah. Mengingat statusnya dan kewenangannya saat ini Mahkamah Pelayaran masih jauh dari harapan menjadi sebuah Mahkamah/Peradilan Maritim, karena hanya dapat memberikan penindakan displin, tindakan ini pun hanya terhadap nakhoda, sementara untuk pihak seperti Administratur Pelabuhan hanya dalam bentuk surat saja karena penindakan terhadap pejabat tersebut merupakan kewenangan Direktorat Jenderal Perhubungan Laut.






Jumlah Putusan Mahkamah Pelayaran Menurut jenis Kecelakaan Kapal

Jenis kecelakaan
Tahun
Rata-rata kenaikan
2000
2001
2002
2003
2004
Tenggelam
8
13
6
13
10
-8,13
Tubrukan
3
4
6
8
11
-33,90
Kandas
15
8
2
3
9
5,24
Terbakar
6
5
5
2
3
3,33
Lain-lain
3
0
0
1
3
-16,67
Jumlah Total
35
33
19
27
36
-1,62
Sumber: Mahkamah Pelayaran Sekretariat Jenderal Dep. Perhubungan

B.              ISTILAH “MAHKAMAH PELAYARAN”

Istilah Mahkamah (Court atau Tribunal) sesungguhnya lebih tepat digunakan oleh satu lembaga dalam bidang peradilan yang memiliki kedudukan, tugas, dan wewenang hukum yang supreme atau tertinggi, seperti Mahkamah Agung atau Mahkamah Konstitusi. Oleh karena itu, banyak kalangan yang mengkritik istilah “mahkamah” dipergunakan oleh Mahkamah Pelayaran. Argumen yang dikemukakan adalah bahwa istilah “Mahkamah” menunjukkan eksistensi sebuah lembaga yang memiliki kompetensi dan yurisdiksi luas guna menangani persoalan-persoalan hukum yang timbul dalam masyarakat.
Sedangkan jika dilihat dari tugas dan fungsi dan kewenangan yang diembannya selama ini, Mahkamah Pelayaran memang bukan sebuah lembaga peradilan setara dengan lembaga peradilan yang ada. Hal ini pun sudah secara tegas dinyatakan dalam penjelasan Pasal 93 ayat (2) UU No. 22 tahun 1992 tentang Pelayaran. Mahkamah Pelayaran hanyalah sebuah lembaga pemerintah yang ditunjuk untuk melakukan pemeriksaan terhadap kecelakaan kapal.
Ditinjau dari aspek kelembagaannya, Mahkamah Pelayaran berada di bawah naungan Departemen Perhubungan. Hal ini ditegaskan dalam suatu keputusan Menteri, yakni Surat Keputusan Menteri Perhubungan Nomor: PM/U/1974 tanggal 6 Agustus 1974 yang menyatakan dalam Pasal 1, sebagai berikut:
”Bahwa Mahkamah Pelayaran adalah suatu badan peradilan administratif di lingkungan Departemen Perhubungan yang berdiri sendiri sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku”
Peraturan perundang-undangan mengenai lembaga peradilan yang berlaku,yakni UUNo. 4 tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman, hanya mengakui keberadaan 4 (empat) lembaga peradilan, yakni: (1) Peradilan Umum; (2) Peradilan Agama; (3) Peradilan Militer; dan (4) Peradilan Agama. Selengkapnya, ketentuan dalam Pasal 2 UU No. 4 tahun 2004 menyatakan sebagai berikut:
“Penyelenggaraan kekuasaan kehakiman sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 dilakukan oleh sebuah Mahkamah Agung dan badan peradilan yang berada di bawahnya dalam lingkungan peradilan umum, lingkunga peradilan agama, lingkungan peradilan militer, lingkungan peradilan tata usaha negara, dan oleh sebuah Mahkamah Konstitusi.”
Dengan kedudukannya seperti saat ini, yaitu Mahkamah Pelayaran merupakan bagian dari Departemen Perhubungan, atau dengan kata lain sebagai salah satu bagian dari lembaga eksekutif, tentunya Mahkamah Pelayaran sulit untuk dapat dikategorikan sebagai sebuah lembaga peradilan. Disamping tugas dan fungsinya yang sangat spesifik dan sempit, juga masih belum didukung dengan dasar hukum yang memadai.
Namun demikian, upaya untuk memperluas kewenangan Mahkamah Pelayaran tampaknya sudah mulai dilakukan. Hal ini tampak dalam materi RUU Pelayaran yang saat ini masih disusun yang menyebutkan tentang “Mahkamah Pelayaran yang bersifat independen” dengan kompetensi dan yurisdiksi yang diperluas, yaitu bahwa: “Mahkamah Pelayaran berwenang memeriksa tubrukan yang terjadi antara kapal niaga dengan kapal negara termasuk kapal perang”. Meskipun dalam kaitan pemeriksaannya Mahkamah Pelayaran masih tetap merupakan sebuah “Mahkamah Kode Etik Profesi”. Hal ini tampak dalam kaitan dengan keputusan Mahkamah, yaitu: “menjatuhkan sanksi administratif kepada Nahkoda atau pemimpin kapal dan/atau perwira kapal yang memiliki sertifikat keahlian Pelaut yang dikeluarkan oleh Pemerintah yang melakukan kesalahan atau kelalaian dalam menerapkan standar profesi kepelautan”
Saat ini memang sudah berkembang wacana untuk mengubah nama Mahkamah Pelayaran menjadi “Peradilan Maritim”. Jika nama ini yang dipakai, kemungkinan untuk lebih memperluas yurisdiksi dan kompetensi Mahkamah pelayaran lebih terbuka. Karena dengan nama “Peradilan Maritim”, kesan yang tampak adalah sebuah lembaga peradilan yang memiliki fungsi dan wewenang yang lebih luas, yakni tidak hanya memeriksa dan mengadili Nakhoda dan/atau Perwira kapal yang dianggap telah melanggar profesi kepelautan, akan tetapi juga sebagai sebuah lembaga otonom yang bertugas menegakkan hukum dan keadilan di bidang maritim. Hal ini kemungkinan akan lebih mendekati terbentuknya sebuah “Admiralty Court” sebagaimana yang ada di negara-negara lain yang sudah terlebih dahulu mengembangkan bentuk peradilan ini.
Untuk mewujudkan gagasan tersebut, memang bukan sesuatu yang tidak mungkin. Akan tetapi perlu dilakukan berbagai upaya pembenahan di dalam lingkungan Mahkamah Pelayaran itu sendiri, baik berkaitan dengan landasan hukum, kelembagaannya, dan juga kualitas SDM-nya.



C.              UPAYA KE ARAH PENINGKATAN YURISDIKSI DAN KOMPETENSI MAHKAMAH PELAYARAN

Dikaitkan dengan hal-hal yang dikemukakan di atas, sedikitnya ada empat hal yang berkaitan dengan masalah peningkatan kompetensi dan yurisdiksi Mahkamah Pelayaran sebagai sebuah lembaga “peradilan pelayaran” yang independen, yaitu:
a.     Sejauhmana pengaturan mengenai tugas dan fungsi Mahkamah Pelayaran dapat memfasilitasi lembaga ini untuk menjalankan tugas dan fungsinya sebagai sebuah “Peradilan” atau lembaga yang bertugas menyelesaikan segala aspek yang terkait dengan perkara kecelakaan kapal?;
b.     Sejauhmana perangkat kelembagaan dan sumberdaya manusia sudah mendukung ke arah pembentukan lembaga “peradilan” pelayaran atau maritim?
c.      Kendala-kendala apa saja yang menghambat pelaksanaan tugas dan fungsi Mahkamah Pelayaran dalam melaksanakan tugasnya?
d.     Sejauhmana urgensi peningkatan yurisdiksi dan kompetensi Mahkamah Pelayaran untuk menjadi lembaga ”peradilan” tersendiri ?

1.             Yurisdiksi Mahkamah Pelayaran
Meskipun sudah diatur dalam beberapa peraturan perundangundangan,sesungguhnya yurisdiksi dan kompetensi MahkamahPelayaran di Indonesia sangat terbatas. Mahkamah Pelayaran yang adasaat ini hanya dapat memberikan penindakan disiplin, atau dalam bahasa UU No. 22 tahun 1999 “...bertugas terbatas pada menjatuhkan sanksi berupa hukuman administratif yang berkaitan dengan profesi kepelautan...”. Mahkamah Pelayaran berwenang melakukan pemeriksaan lanjutan untuk mengambil keputusan atas kecelakaan kapal, antara lain menjatuhkan sanksi berupa hukuman/tindakan administratif yang berkaitan dengan profesi kepelautan, di dalam kasus-kasus:
a.       kapal tenggelam;
b.      kapal terbakar;
c.       kapal tubrukan yang mengakibatkan kerusakan berat;
d.      kecelakaan kapal yang menyebabkan terancamnya jiwa manusia dan kerugian harta benda;
e.       kapal kandas dan rusak berat.
Dalam peraturan Pemerintah Nomor 1 tahun 1998 tentang Kecelakaan Kapal dinyatakan tugas Mahkamah Pelayaran, sebagai berikut:
1.                   mempelajari sebab-sebab terjadi kecelakaan kapal untuk menentukan apakah ada kesalahan atau kelalaian dalam menerapkan standar profesional kepelautan yang dilakukan nakhoda atau pemimpin kapal dan awak kapal lainnya.
2.                  menetapkan hukuman administratif pada nakhoda atau pemimpin kapal dan/atau awak kapal lainnya yang memiliki ijazah yang dikeluarkan oleh pemerintah Indonesia yang melakukan perbuatan kekeliruan atau kelalaian dalam menjalankan standar profesional kepelautan.
Dalam kaitan hal-hal tersebut, Mahkamah Pelayaran hanyamemberikan sanksi administratif yang dapat berupa teguran tertulis,penangguhan sementara ijazah pihak yang bersalah, setelah melaluiproses persidangan di muka Mahkamah termasuk tata cara pembuktiandan kesaksian.
Jika melihat kepada aturan-aturan yang melandasi MahkamahPelayaran, jelas bahwa Mahkamah Pelayaran saat ini bukan merupakanbadan peradilan, dan kedudukannya pun tidak dalam lingkunganPeradilan Umum. Dengan demikian, sesungguhnya MahkamahPelayaran tidak memiliki yurisdiksi untuk memutus perkara yangberkaitan dengan aspek keperdataan (seperti tanggung jawabpengangkut, ganti rugi atau kompensasi ekonomi) atau aspek pidana,sekalipun timbul dalam kaitan dengan kecelakaan kapal, karena masalah-masalah ini merupakan yurisdiksi Peradilan Umum. Olehsebab itu, yurisdiksi dan kompetensi Mahkamah Pelayaran belum dapatdisetarakan dengan sebuah lembaga peradilan maritim, atau yang lazimdisebut Mahkamah Maritim atau Admiralty Court, yang ada di beberapa negara, seperti di Inggris dan Amerika Serikat. Jika dilihat tugasnya, admiralty court memiliki yurisdiksi sangat luas, yaitu:
“Admiralty courts, also known as maritime courts, are courtsexercising jurisdiction over all maritime contracts, torts, injuries andoffenses .....”
Sementara jika kita lihat Mahkamah Admiralti (Admiralty Court) meskipun objek yurisdiksinya sama, yaitu berkaitan dengan terjadinya insiden kecelakaan kapal, akan tetapi kewenangannya memang jauh lebih lengkap. Hal ini memang dapat dimaklumi, karena perjalanan yang ditempuh oleh sebuah Mahkamah Admiralti di Inggris, misalnya, sudah sangat lama, yakni sejak Abad ke-14. Berikut ini adalah kutipan yang berkaitan dengan keberadaan dan sejarah Mahkamah Pelayaran di Inggris.
Mengingat bahwa intensitas pelayaran di wilayah perairan Indonesia diperkirakan akan lebih meningkat, yang bukan saja melibatkan kapal-kapal berbendera Indonesia akan tetapi juga kapalkapal asing, maka potensi terjadinya insiden pelayaran bukan mustahil juga akan lebih meningkat. Untuk itu, di masa datang perlu dipikirkan mengenai keberadaan sebuah lembaga pengadilan maritim yang memiliki yurisdiksi dan kompetensi yang luas, seperti yang dimiliki oleh Mahkamah Maritim (Maritime Court atau Admiralty Court) di negaranegara lain.
Lembaga peradilan maritim ini perlu memiliki yurisdiksi yang mencakup semua aspek hukum yang ditimbulkan dari kegiatan pelayaran, tetapi tidak terbatas hanya persoalan yang sifatnya administratif profesi kepelautan dan teknis pelayaran melainkan juga bisa menangani masalah-masalah keperdataan, ekonomi, pidana, lingkungan dan juga administrasi. Pembentukan institusi peradilan maritim ini dianggap sangat mendesak, karena saat ini dunia peradilan di Indonesia sedang menjalani proses pembaruan, khususnya berkenaan dengan perbaikan kinerja dan manajemen lembaga peradilan yang sudah ada. Rencana beberapa kalangan untuk membentuk pengadilan-pengadilan khusus terus berjalan, seperti rencana pembentukan Pengadilan Lingkungan, Pengadilan Pencuri Kayu, Pengadilan Perindustrian, Pengadilan Profesi Kedokteran, Pengadilan Hubungan Industrial, dan Pengadilan Perikanan. Dua pengadilan yang disebut terakhir bahkan telah mempunyai dasar hukum yang memerintahkan pembentukannya, yaitu UU No. 2/2004 tentang Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial dan UU No. 31/2004 tentang Perikanan.
Alasan yang tak kalah penting adalah dengan semakin pesatnya kemajuan teknologi, serta semakin kompleksnya persoalan-persoalan hukum, terutama di bidang-bidang yang sangat spesifik seperti korupsi, lingkungan hidup, tata niaga, pajak, profesi kedokteran, perikanan, pelayaran dan lain-lain, dibutuhkan suatu lembaga peradilan yang lebih profesional yang didukung oleh SDM yang benar-benar menguasai persoalan-persoalan khusus tersebut.
2.             Kompetensi Mahkamah Pelayaran
Dasar-dasar pertimbangan di atas berlaku pula pada di bidang maritim atau pelayaran. Penanganan kasus-kasus maritim selama ini dinilai tidak berjalan secara optimal. Hal ini dapat dilihat misalnya bagaimana instansi-instansi yang terkait dengan penegakan hukum di bidang pelayaran atau maritim pada umumnya belum berjalan secara sinergis.
Dari aspek kelembagaan, saat ini sangat diperlukan perbaikan dan penyempurnaan institusi untuk lebih meningkatkan kompetensi Mahkamah Pelayaran dalam manangani perkara-perkara kecelakaan kapal.
Saat ini, dengan hanya satu Mahkamah Pelayaran yang berkedudukan terpusat di Jakarta, maka akan banyak kendala yang timbul dalam penanganan perkara-perkara yang menjadi kompetensinya. Dengan pemusatan penyelesaian perkara di Mahkamah pelayaran Jakarta, maka kemungkinan masalah yang timbul adalah:
a.              Birokrasi akan memperlambatnya penyerahan perkara yang datang dari daerah-daerah ke Mahkamah pelayaran, karena harus terlebih dahulu disampaikan ke Departemen Perhubungan, Direktorat Jenderal Perhubungan Laut, baru ke tangan Mahkamah Pelayaran.
b.             Kesulitan untuk menghadirkan pihak-pihak yang terkait dengan peristiwa kecelakaan kapal di Mahkamah Pelayaran, karena pemeriksaan dilakukan di tempat yang relatif jauh dari tempat kejaian perkara (TKP) sehingga akan menimbulkan kendala untuk memperoleh cukup bukti yang diperlukan.
c.              Jumlah dan kualitas Hakim Mahkamah Pelayaran masih belum sebanding dengan luasnya lingkup tugas Mahkamah Pelayaran, sehingga perkara yang sudah masuk pun belum tentu dapat ditangani dalam waktu segera. Dengan demikian dapat dipastikan akan terjadi penumpukan perkara, sehingga sejumlah kasus kemungkinan baru dibuka setelah bertahun-tahun terjadi.


Upaya ke arah metode “jemput bola” memang sudah dirintis oleh Mahkamah Pelayaran, dengan menggelar sidang di daerah. Sebagai contoh, Mahkamah Pelayaran mendatangkan Tim Maklumat dari Jakarta untuk menggelar sidang di Padangbai, Karangasem, Bali, guna mengungkap sebab-sebab tenggelamnya Kapal Motor Penyeberangan (KMP) Wimala Dharma (WD) di perairan Selat Lombok 7 September 2003. Ini agak berbeda dengan kasus tenggelamnya kapal di Selat Bali (Ketapang-Gilimanuk) tahun 1995, yang sidangnya dilaksanakan di Jakarta.
Akan tetapi, untuk lebih mengefektifkan mekanisme persidangan di daerah ini pun seharusnya dilakukan pembenahan mekanisme kerja Mahkamah, antara lain dengan membentuk kepaniteraan Mahkamah Pelayaran di setiap Provinsi, yakni di setiap Kantor Administrator Pelabuhan. Kepaniteraan daerah ini bertugas untuk melakukan pemeriksaan pendahuluan dan melengkapi bukti-bukti sebagai persiapan persidangan di daerah. Dengan cara ini, kemungkinan penanganan perkara-perkara kecelakaan kapal akan lebih cepat, karena berkas-berkas perkara tidak selalu harus dikirim ke Jakarta dan melalui jalur birokrasi yang kadang-kadang berbelit-belit.
Sebagaimana diketahui dan telah dikemukakan di atas, Mahkamah Pelayaran mempunyai tugas untuk memeriksa dan memutuskan tentang perkara yang berkaitan dengan kecelakaan kapal. Materi pokok dari putusan Mahkamah Pelayaran terutama berkaitan dengan masalah nautis teknis, dan bentuk sanksi yang dijatuhkan adalah sanksi administratif terhadap Nakhoda atau pemimpin kapal, dan perwira kapal yang dianggap bersalah dalam kasus kecelakaan terkait.
Keputusan-keputusan Mahkamah Pelayaran yang dihasilkan dari rangkaian proses persidangannya umumnya memuat tentang aspekaspek teknis kapal, antara lain:
a.         Kapal, surat kapal dan pengawakan kapal;
b.         Keadaan cuaca;
c.         Penumpang dan/atau muatan kapal;
d.        Sarat dan stabilitas kapal;
e.         Navigasi dan olah gerak;
f.          Sebab kecelakaan kapal;
g.         Upaya penyelamatan
h.         Kesalahan dan/atau kelalaian.
Namun, sebagaimana umumnya diketahui, dalam suatu kasus kecelakaan kapal, disamping aspek teknis nautis juga ada aspek-aspek lain yang tidak kalah pentingnya, yakni aspek perdata dan/atau pidana. Aspek-aspek tersebut, jika melihat aturan tentang yurisdiksi Mahkamah Pelayaran, memang bukan bidang yang menjadi tanggung jawab dari Mahkamah ini, akan tetapi merupakan yurisdiksi lembaga peradilan umum. Sebagai contoh, apabila dalam suatu kecelakaan kapal terbukti ada unsur kesengajaan dari Nakhoda atau pemimpin kapal sehingga menimbulkan korban, baik jiwa maupun harta benda. Maka dalam kasus ini berkas perkara diserahkan kepada pihak kepolisian, yang akan menyidik perkara dan memeriksa Nakhoda/pemimpin kapal atas dasar persangkaan melakukan tindak pidana. Sementara itu, dalam kaitan dengan kerugian yang ditimbulkan, maka keputusan tentang ganti rugi bagi pihak-pihak yang dirugikan akan diputuskan oleh pengadilan. Dalam kedua hal tersebut, Mahkamah Pelayaran tidak lagi memiliki peranan. Dalam beberapa kasus kecelakaan kapal yang menimbulkan kerugian harta benda, seringkali keputusan Mahkamah Pelayaran tidak memberikan perhatian yang cukup, misalnya kepada siapa gugatan ganti rugi itu harus ditujukan. Berikut adalah cuplikan berita surat kabar tentang perkara kecelakaan kapal motor Lucky Lady, yang sedikit banyak dapat menjadi salah satu contoh dari hal ini:
Kasus Pencemaran Minyak MT Lucky Lady DisidangkanCILACAP - Mahkamah Pelayaran, kemarin, menyidang kasuskebocoran kapal MT Lucky Lady pada Jumat, 10 September. Hadir nakhoda kapal, kepala kamar mesin, mualim, dan petugas pandu dari Adpel Pelabuhan Cilacap. Majelis hakim diketuai Capt Conrad Siahaan, dengan anggota Capt TW Gerilyanto, M Sidik S Amk, W Koesbini Laking, I Ketut Pariyasa SH, dan Daryanto SH. Tersangkut (atau tersangka dalam peradilan pidana) adalah nakhoda kapal MT Lucky Lady, Panagiotis Eragkou. Sekitar tiga jam hakim menanyakan pada nakhoda kapal berbendera Republik Malta itu kronologi dan penyebab kecelakaan yang mengakibatkan pencemaran di perairan Cilacap. Hakim menanyakan posisi kapal, waktu, dan kondisi cuaca saat kapal menyerempet batu karang sehingga lambung depan kanan robek. Majelis juga bertanya tentang data diri nakhoda untuk mengukur kapabilitas nakhoda dalam menjalankan kapal. Dalam sidang diketahui MT Lucky Lady bocor di buoy 3 alur masuk Pelabuhan Cilacap. Saat itu kapal membelok kiri mengikuti alur masuk. Namun karena ketajaman belokan ditambah dorongan angin, lambung kanan depan kapal menyerempet karang sehingga robek dan membuat sekitar 9.000 barel minyak mentah tertumpah ke laut. Petugas pandu saat kejadian baru masuk ke bouy 0, sementara kapal sudah berada di bouy 3. Berarti saat itu kapal sudah masuk alur masuk pelabuhan saat petugas pemandu baru bersiap memberikan panduan. Kepala Administrasi Pelabuhan Cilacap, Syamsuddin S, menyatakan sidang mahkamah pelayaran diadakan sebagai kelanjutan penyidikan oleh Adpel. ''Sidang juga diadakan agar kasus ini segera selesai. Ini perlu karena makin lama ditunda kian banyak pihak dirugikan.'' Dia mengemukakan sidang itu khusus untuk menyidangkan kecelakaan MT Lucky Lady dari sisi keamanan maritim. Adapun sidang tuntutan dari pihak yang dirugikan akibat pencemaran, seperti nelayan dan Pemerintah Kabupaten Cilacap, tak dimasukkan sidang mahkamah pelayaran. Sidang dijadwalkan dilanjutkan hari ini. MT Lucky Lady bocor, Jumat (10/9), setelah menabrak karang di alur masuk Pelabuhan Cilacap. Tak lama setelah itu, perairan Cilacap terutama di sekitar Teluk Penyu dan Benteng Pendem tercemari minyak mentah. (G21-86)
Bagi pihak yang merasa dirugikan (pemilik kapal, operator kapal, pemilik muatan kapal, dan penumpang kapal) dengan adanya suatu peristiwa kecelakaan kapal, tentunya keputusan-keputusan yang sifatnya administratif seperti menjatuhkan skorsing terhadap Nakhoda atau pemimpin kapal, bukan sesuatu yang penting. Bagi pihak ini yang terpenting adalah bagaimana agar kerugian yang ditimbulkan oleh peristiwa itu dapat diberikan kompensasi atau ganti rugi. Kerugian demikian tidak selalu identik dengan hilang atau rusaknya muatan kapal (loss atau damage) dan kerusakan/ kehilangan kapal, akan tetapi juga kerugian yang timbul berkaitan dengan kelambatan (delay) pengiriman barang/muatan, atau juga kerugian ekonomi (economic damages) yang tidak terkait langsung dengan kapal, seperti pencemaran laut oleh bahan-bahan yang berasal dari kapal, seperti bahan bakar kapal atau kerusakan lingkungan. Para nelayan, pengusaha perhotelan dan pengelola wisata bahari yang tidak dapat melakukan aktivitasnya karena perairan tempat mereka beraktivitas tercemar jelas akan mengalami kerugian. Mereka tidak akan tertarik dengan masalah-masalah teknis nautis, yang terpenting adalah bagaimana memperoleh kompensasi yang pantas atas kerugian ekonomi yang dideritanya.
Mahkamah Pelayaran memang tidak dimaksudkan untuk dapat memecahkan masalah-masalah seperti ini. Beberapa kali telah dikemukakan di atas bahwa lembaga ini bukan merupakan lembaga yudikatif, sehingga masalah ganti rugi merupakan yurisdiksi dari badan peradilan umum. Persoalannya, apakah lembaga peradilan umum saat ini telah mampu memberikan putusan yang dianggap adil untuk masalah ini ?
Persoalan-persoalan yang menyangkut dunia maritim/ pelayaran tidak sama dengan persoalan-persoalan hukum yang terjadi di daratan. Untuk dapat memutuskan suatu perkara yang berkaitan dengan pelayaran, maka hakim-hakim tidak cukup hanya menguasai peraturan hukum saja, akan tetapi juga memahami seluk beluk pelayaran. Hakim-hakim pengadilan maritim (Admiralty Court) di Inggris, misalnya, umumnya hakim senior yang disamping memiliki latar belakang penguasaan hukum maritim atau pengangkutan laut juga menguasai bidang teknis pelayaran. Hal demikian tampaknya belum bisa diharapkan dari hakim-hakim pengadilan di Indonesia.
Dari sisi lain putusan Mahkamah Pelayaran tentang teknis nautis memang memiliki kegunaan bagi perkembangan Hukum Maritim, misalnya:
a.       Putusan tersebut merupakan keterangan ahli tentang sebab-sebab terjadinya kecelakaan kapal;
b.      Sebagai dasar pertimbangan hukum dalam suatu perkara pidana yang timbul dari suatu peristiwa kecelakaan kapal;
c.       Sebagai dasar untuk mengajukan gugatan/klaim ganti rugi perdata bagi pihak yang dirugikan;
d.      Menjadi catatan kondite Nakhoda dan perwira kapal.
Kedudukan anggota yang merupakan “hakim-hakim” Mahkamah Pelayaran saat ini sesungguhnya sangat strategis dalam kaitan pengembangan lembaga ini sebagai “Pengadilan Maritim” Indonesia di masa datang. Peraturan Pemerintah nomor 8 tahun 2004 tentang Perubahan Atas Peraturan Pemerintah Nomor 1 Tahun 1998 Tentang Pemeriksaan Kecelakaan Kapal, mensyaratkan hakim-hakim Mahkamah Pelayaran memiliki kualifikasi yang lengkap, baik dalam pengetahuan hukum (harus seorang Sarjana Hukum) maupun pengetahuan teknis pelayaran (Ahli Nautika, Ahli Teknika atau Sarjana Teknik Perkapalan). Ketentuan dalam PP No. 8 tahun 2004, antara lain mengubah ketentuan Pasal 28 PP No.1 Tahun 1998, sebagai berikut:
(1) Untuk dapat diangkat menjadi Anggota Mahkamah Pelayaran, seorang calon harus memenuhi persyaratan:
a.       bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa;
b.      setia kepada Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945;
c.       memiliki masa kerja sebagai Pegawai Negeri Sipil sekurang-kurangnya 12 (dua belas) tahun;
d.      memiliki kualifikasi pendidikan sebagai Sarjana Hukum, Ahli Nautika Tingkat II, Ahli Teknika Tingkat II atau Sarjana Teknik Perkapalan.
(2) Bagi calon Anggota Mahkamah Pelayaran yang memiliki kualifikasi pendidikan sebagai Ahli Nautika Tingkat II atau Ahli Teknika Tingkat II, yang bersangkutan dipersyaratkan telah mengikuti pendidikan dan pelatihan Kesyahbandaran Tingkat I dan Marine Inspector Tingkat A.”
Peningkatan kompetensi anggota Mahkamah Pelayaran sebagai ”hakim” dalam suatu perkara kecelakaan kapal masih perlu ditingkatkan, sehingga Mahkamah tidak saja memutuskan aspek teknis tetapi juga memulai pemeriksaan aspek pidana maritim dan perdata maritimnya. Hal ini penting karena Mahkamah bukan mustahil dalam suatu kasus kecelakaan kapal mampu memutus bukan saja dari aspek teknis akan tetapi juga memutuskan tentang siapa yang harus bertanggung jawab secara pidana maupun perdata, sehingga memudahkan pihak yang dirugikan untuk mengajukan tuntutan atau gugatan ke pengadilan umum. Meskipun untuk efektifnya putusan tersebut harus dikukuhkan melalui putusan pengadilan umum.
Dari aspek karir sebagai anggota Mahkamah Pelayaran, tampaknya hingga saat ini Mahkamah kurang memiliki daya tarik yang signifikan bagi kalangan staf di lingkungan Departemen Perhubungan. Mengingat bahwa hingga saat ini tidak ada kejelasan status anggota Mahkamah Pelayaran (yang berjumlah 15 orang anggota) apakah sebagai pejabat strutural ataukah pejabat fungsional. Hal ini berbeda dengan status dalam Kepaniteraan Mahkamah Pelayaran yang jelas memiliki struktur eselon yang jelas.