BAB
I
PENDAHULUAN
A.
LATAR BELAKANG
Negara
Kesatuan Republik Indonesia sebagai negara kepulauan (Archipelagic State)
memiliki lebih kurang 17.500 pulau, dengan total panjang garis pantai mencapai
81.000 km serta luas wilayah laut yang mencakup 70 persen dari keseluruhan luas
wilayahnya. Dengan kondisi geografis yang demikian itu, kedudukan laut atau
perairan mempunyai peranan penting, baik ditinjau dari aspek-aspek ekonomis,
komunikasi dan transportasi, perdagangan, pariwisata, perlindungan dan
pelestarian alam, maupun untuk kepentingan pertahanan keamanan.
Ditinjau
dari aspek potensi dan pemanfaatannya, sumberdaya kelautan secara umum dapat
dibagi menjadi tiga bagian, yaitu:
ü potensi
dan pemanfaatan sumberdaya hayati;
ü potensi
dan pemanfaatan sumberdayanon-hayati; dan
ü potensi
dan pemanfaatan jasa kelautan.
Dalam
kaitannya dengan jasa kelautan, fungsi laut secara konvensional adalah sebagai
media transportasi. Tidak terkecuali dalam era modern saat ini, dimana sarana
transportasi cenderung lebih mengutamakan kenyamanan dan waktu tempuh yang
relatif cepat, sarana pengangkutan laut masih tetap diperlukan. Sarana
transportasi laut, yaitu kapal laut, masih menjadi alat yang belum tergantikan
oleh sarana transportasi lain, seperti pesawat udara atau sarana transportasi
darat. Terutama dalam pengangkutan barang (cargo) baik itu domestik maupun
internasional. Oleh karena itu pengembangan armada pelayaran masih penting
diupayakan, baik dengan cara memodernisir sarana pelayaran maupun menambah
jumlah armada kapal.
Kondisi
transportasi laut dalam negeri baik sarana maupun prasarana keselamatan
pelayaran hingga saat ini tidak mendukung tertibnya kelancaran angkutan laut di
Tanah Air. Di samping ketertiban pelayanan dan pengoperasian sarana dan prasana
relatif masih rendah, juga banyak faktor turut melingkupinya, seperti lemahnya
kepedulian (awareness) dari pemilik kapal dan perusahaan dalam menerapkan
sistem keselamatan yang efektif serta implementatif di lapangan, kelaiklautan
kapal yang lebih berorientasi pada sertifikasi yang notabene tidak didukung
dengan pemeriksaan yang seksama, juga pengawasan yang dilaksanakan oleh
pemerintah terhadap pelaksanaan (drilling) dari persyaratan-persyaratan
keselamatan pelayaran tidak konsisten. Kondisi tersebut juga diperburuk lagi dengan
tingkat keamanan di pelabuhan, di kapal, dan di laut yang seharusnya sesuai ketentuan
internasional, yakni dengan penerapan ISPS Code, namun dalam kenyataannya belum
sepenuhnya terwujud.
Laporan-laporan
kecelakaan pelayaran pada umumnya didominasi oleh permasalahan teknis (terbalik
dan tabrakan) akibat aktivitas operasi yang tidak reliable. Di kapal-kapal itu
alat-alat keselamatan tidak dipelihara sehingga tiga dari empat alat
keselamatan tidak berfungsi, terutama pada pelayaran penumpang dan penyeberangan.
Menurut konsep dasar keselamatan pelayaran, kapal yang hendak berlayar harus
berada dalam keadaan laik laut (seaworthiness). Artinya, kapal layak untuk
menghadapi berbagai resiko dan kejadian secara wajar dalam pelayaran. Kapal
layak menerima muatan dan mengangkutnya serta
melindungi
keselamatan muatan dan anak buah kapal (ABK)-nya.
Kelaikan
kapal mensyaratkan bangunan kapal dan kondisi mesin dalam keadaan baik. Nakhoda
dan ABK harus berpengalaman dan bersertifikat. Perlengkapan, store dan bunker,
serta alat-alat keamanan memadai dan memenuhi syarat. Sebagian besar kapal yang
beroperasi di perairan Indonesia adalah kapal-kapal tua dengan umur di atas 8,5
tahun. Kapalkapal tersebut itu pada umumnya dikelola oleh sumber daya manusia
yang
kualitas profesionalismenya
rendah.
Kecelakaan-kecelakaan
kapal yang terjadi umumnya menunjukkan tidak ditaatinya konvensi pelayaran baik
internasional maupun nasional oleh perusahaan pelayaran di dalam negeri,
terutama, Undang-Undang No.21/1992 tentang Pelayaran dan peraturan-peraturan
dari IMO. Pada tahun 2005 kecelakaan kapal di Indonesia menunjukkan kenaikan
yang sangat signifikan. Sampai bulan Juni 2005 kecelakaan kapal telah mencapai 26
kasus. Namun, sebagian besar kasus kecelakaan kapal tidak diajukan ke Mahkamah
Pelayaran, sehingga sesungguhnya jumlah kecelakaan laut mungkin lebih banyak
lagi.
Dewan
Maritim Indonesia (DMI) menyatakan bahwa 72% dari 1.551 kasus kecelakaan laut
yang terjadi di Indonesia karena kesalahan manusia (human error). Pernyataan
Dewan Maritim Indonesia ini didukung oleh hasil penelitian independen yang
dilakukan oleh International Maritime Organization (IMO) di Indonesia pada
1990-2001. Human error sangat dominan dalam menyumbangkan terjadinya kecelakaan
kapal di lautan
Indonesia. Dari
hasil penelitian tersebut, diperoleh kesimpulan bahwa terdapat lima pihak baik
langsung maupun tidak langsung yang memberi kontribusi terjadinya kecelakaan
laut dengan korban mencapai 2.684 jiwa. Kelima pihak itu adalah anak buah kapal
(ABK) dan Nahkoda 80,9%, pemilik kapal (shipowner) 8,7%, syahbandar 1,8%, biro
klasifikasi 3,1% dan pandu 5,5%. 2
Meskipun
angka kecelakaan kapal cukup tinggi, akan tetapi penanganan insiden kecelakaan
kapal pada umumnya masih bersifat administratif dan dokumentatif yang tidak
menyelesaikan akar permasalahan keselamatan pelayaran. Sebagai negara kepulauan
terbesar di dunia, Indonesia belum memiliki Mahkamah Maritim atau Admiralty
Court seperti di negara-negara lain. Mahkamah Pelayaran yang ada saat ini hanya
dapat memberikan penindakan displin. Penindakan inipun hanya terbatas kepada nahkoda.
Akibatnya, saat terjadi kecelakaan, hakim dan jaksa yang menangani perkara
tersebut tidak terlalu memahami masalah yang menjadi penyebabnya.
Keberadaan
Mahkamah Pelayaran di Indonesia tidak terlepas dari peran Pemerintah Hindia
Belanda semasa masih berkuasa di Indonesia. Mahkamah Pelayaran untuk pertama
kalinya dibentuk berdasarkan Ordonanntie op den Raad voor de Scheepvaart
(Staatsblad 1934 No. 215) yang mulai berlaku pada tanggal 1 April 1938.
Kedudukan Mahkamah pada masa Hindia Belanda ada dalam lingkungan Departemen van
Marine.
Mengingat
Mahkamah Pelayaran hingga saat ini hanya satu yang berada di Jakarta, sementara
luas lingkup yurisdiksinya mencakup seluruh Indonesia, maka Mahkamah Pelayaran
dipastikan memikul beban tugas yang sangat berat. Karena dengan makin
meningkatnya intensitas kegiatan pelayaran di wilayah perairan Indonesia, maka
potensi untuk meningkatnya kasus kecelakaan di berbagai penjuru perairan
Indonesia sangat besar.
Satu
hal lagi yang menambah beban persoalan bagi Mahkamah Pelayaran yaitu bahwa
dalam pelaksanaannya Mahkamah akan terhambat oleh kompetensi yang dimilikinya.
Karena meskipun namanya “Mahkamah”, akan tetapi jika dibandingkan dengan
Mahkamah Maritim atau Admiralty Court yang ada di negara-negara lain,
yurisdiksi dan kompetensi Mahkamah Pelayaran Indonesia bukanlah bandingan yang
seimbang. Yurisdiksi Mahkamah Maritim di beberapa negara maju sangat luas,
sebagaimanadikemukakan di bawah ini:
Admiralty
courts, also known as maritime courts, are courts
exercising jurisdiction over all
maritime contracts, torts, injuries and
offenses.
In the United States, the federal district courts have jurisdiction
over
all admiralty and maritime actions. In Great Britain, contrary to most
other
courts that are governed by the common law the admiralty courts
are
governed by civil law as this is the law that the Law of the Sea is
based
upon.
Berkaitan
dengan hal-hal sebagaimana diuraikan di atas, dan juga mengingat beban tugas
Mahkamah Pelayaran di masa datang akan lebih berat lagi, maka diperlukan suatu
telaahan mengenai berbagai aspek yang berkaitan dengan peran, tugas dan fungsi,
yurisdiksi serta kompetensi Mahkamah Pelayaran dalam menyelesaikan berbagai
kasus yang terjadi dalam kaitan kecelakaan kapal di wilayah perairan yang
menjadi yurisdiksi Republik Indonesia.
BAB II
TINJAUAN PENGATURAN TENTANG
TUGAS DAN FUNGSI MAHKAMAH PELAYARAN
A.
FASE AWAL PERKEMBANGAN PENGATURAN
PELAYARAN DI
KEPULAUAN NUSANTARA
Sudah
sejak lama umat manusia telah memanfaatkan laut. Namun, pemanfaatan
sumber-sumber daya yang terkandung di laut pun tentunya berkembang sesuai
dengan kemampuan umat manusia itu sendiri. Salah satu bentuk pemanfaatan laut
yang tertua usianya adalah fungsinya sebagai media penghubung antara satu
tempat dengan tempat lainnya,3 karena teknologi yang termaju pada saat
peradaban itu baru mencapai tingkat kemampuan pembuatan perahu-perahu atau
kapal-kapal layar sederhana.
Dalam
kaitan fungsi ini, laut ibarat sarana jalan bebas hambatan yang tidak memiliki
batas, dan terbuka untuk digunakan oleh siapa pun dan untuk kepentingan apapun,
mulai dari perdagangan, pencarian wilayah koloni baru, hingga ajang peperangan.
Fungsi dan peranan laut sebagai media perhubungan ditunjukkan oleh bukti-bukti
arkeologis yang ditemukan saat ini, yang menunjukkan bahwa pelayaran
(seafaring) di wilayah Mediterania telah mulai dilakukan sekitar 11.000 tahun
yang lampau, yaitu pada akhir zaman Paleolithic.
Sementara
itu kepandaian membuat perahu diperkirakan telah berkembang di pesisir daratan
Asia Tenggara pada sekitar 7.000 tahun lalu yang membawa perubahan besar pada
pola pemukiman dan penyebaran penduduk ke wilayah pesisir. Perkembangan yang
terjadi di wilayah ini selanjutnya ikut mempercepat perkembangan teknologi
pelayaran. Namun demikian, keterampilan berlayar di kalangan penduduk pesisir
di kepulauan Nusantara diperkirakan berkembang lebih akhir.
Mengingat
letak geografisnya yang strategis, sejak awal abad ke-17 Kepulauan Nusantara
(Indonesia) telah menjadi salah satu kawasan perdagangan yang penting di Asia
Tenggara. Posisi strategis pelabuhanpelabuhan laut di kepulauan nusantara yang
menghubungkan daerah-daerah pedalaman dengan beberapa negara di kawasan Asia
Tenggara dan wilayah dunia lainnya, memberikan gambaran bahwa sejak lama sudah
ada rute-rute pelayaran internasional melalui perairan nusantara. Sehingga
perairan di dalam dan di sekitar lingkungan kepulauan ini merupakan perairan
yang sibuk dengan aktivitas pelayaran baik antar pulau maupun internasional.
Kondisi
tersebut semakin berkembang terutama setelah masuknya kapal-kapal ekspedisi
Belanda datang ke kepulauan nusantara dan mendirikan Vereenigde Oost Indische
Compagnie (VOC) di Batavia pada tahun 1602. Dalam perkembangan selanjutnya,
kedudukan VOC digantikan olehPemerintah Kolonial Hindia Belanda (Nederlandsch
Indie) yang mulai menata rute-rute pelayaran di kepulauan nusantara terutama
setelah tahun 1864. Pemerintah Kolonial Hindia Belanda menugaskan W. Cores de
Fries, seorang perwira pelayaran Belanda, untuk membuka rute-rute pelayaran
yang menghubungkan 16 pelabuhan di Jawa, Sumatera, Kalimantan, Sulawesi, Nusa
Tenggara dan Maluku.
Pelayaran
(laut) selanjutnya menjadi moda pengangkutan atau perhubungan yang sangat penting
bagi Indonesia. Perkembangan pelayaranatau pengangkutan laut, baik yang
domestik maupun antar negara (internasional), menjadi salah satu media
perhubungan yang dianggap paling sesuai dengan kondisi geografis Indonesia yang
hampir 75% wilayahnya terdiri atas perairan (laut). Bukan saja karena melalui
moda angkutan ini dapat menjangkau wilayah-wilayah yang jaringanperhubungannya
(terutama sarana perhubungan darat) belum memadai, akan tetapi karena
pengangkutan laut lebih efisien dan murah.
Dengan
semakin pesatnya pertumbuhan jaringan pelayaran, baik pelayaran antar pulau
maupun internasional, maka resiko terjadinya kecelakaan atau insiden pelayaran
di wilayah perairan Indonesia pun semakin besar. Oleh sebab itu, sejak masa
kolonial pun pemerintah Hindia Belanda sudah melakukan penataan pelayaran,
termasuk pembentukan sebuah Raad van Tucht atau ”Dewan Tata tertib” yang
ditetapkan dengan Ordonanntie Nomor 119 Tahun 1873. Dewan ini mempunyai tugas
dan fungsi:
a. Menetapkan
ketentuan-ketentuan rumah tangga dan tata tertib di kapal-kapal Hindia Belanda;
b. Melakukan
pemeriksaan terhadap sebab-sebab kecelakaan kapal, jika terdapat dugaan dan
disertai dengan alasan kuat bahwa peristiwa atau bencana atas suatu kapal
terjadi karena kelalaian atau kesalahan nakhoda atau perwira kapal yang
terkait.
Perkembangan
dunia pelayaran yang didukung dengan kemajuan teknologi perkapalan, disamping
lebih meramaikan kegiatan pelayaran di wilayah dan disekitar laut kepulauan
nusantara juga berpotensi menimbulkan kenaikan jumlah kecelakaan kapal. Oleh
karena itu, aturan-aturan tentang keselamatan pelayaran dan perkapalan pun
dipandang perlu untuk dikeluarkan. Diantara peraturan tersebut adalah:
ü SOLAS
1929, yang merupakan ketentuan internasional mengenai keselamatan kapal, yang kemudian
ditetapkan sebagai ketentuan. Scheppen Ordonanntie/Scheppen Verordening (SO/SV
1935) atau yang dikenal dengan ordonansi dan peraturan kapal 1935.
ü Untuk
keperluan pengaturan pengangkutan laut pada umumnya, pada tahun 1931
diberlakukan Wetboek van Koophandel (WvK) atau Kitab Undang-Undang Hukum Dagang
Buku II;
ü Untuk
kepentingan pelayaran, pada tahun 1936 dikeluarkan Indische Sheepsvaart Wet,
atau Undang-Undang Pelayaran Hindia Belanda 1936.
Dengan
keluarnya sejumlah peraturan di bidang pelayaran dan perkapalan tersebut, maka
Raad van Tucht pun dianggap perlu untuk disesuaikan dan lebih disempurnakan.
Menyikapi hal ini maka pada tahun 1934 dibentuk Raad Voor de Scheepvaart
(Mahkamah Pelayaran) dengan landasan Ordonanntie op den Raad Voor de Scheepvaart,
Staatsblad 215 Tahun 1934, yang mulai berlaku efektif pada tanggal 1 April 1938
(Staatsblad Nomor 2 Tahun 1938).
Kedudukan
Raad Voor de Scheepvaart berdasarkan ordonansi 1938 tersebut adalah sebagai
lembaga pemeriksa kecelakaan pelayaran dan sekaligus juga sebagai sebuah
pengadilan khusus pelayaran.
Keberadaan
Raad Voor de Scheepvaart ini dilanjutkan pada masa sesudah kemerdekaan, hanya
saja namanya berubah menjadi Mahkamah Pelayaran, dengan tugas dan fungsi yang
relatif hampir sama. Hanya saja pengaturannya tidak terdapat dalam satu
peraturan khusus mengenai Mahkamah Pelayaran, melainkan pada beberapa peraturan
perundangundangan yang mengatur atau yang berkaitan dengan pelayaran.
B. PENGATURAN MAHKAMAH PELAYARAN PADA MASA
HINDIA BELANDA
Sebagaimana
telah disebutkan di atas, pengaturan tentang Mahkamah Pelayaran (Raad voor de
Scheepvaart) pada masa Hindia Belanda terdapat dalam Ordonansi tentang Mahkamah
Pelayaran (Ordonanntie op de Raad Voor de Scheepvaart) dalam Staatsblad No. 215
Tahun 1934 yang kemudian diubah dengan Staatsblad 1947-66 Tahun 1947. Di dalam
Ordonansi ini diatur tentang tugas, susunan dan tata cara persidangan dari
Mahkamah Pelayaran secara rinci.
Menurut
Pasal 1 Ordonansi tersebut, Mahkamah Pelayaran (Raad Voor de Scheepvaart)
memiliki yurisdiksi untuk:
1.
Mengadakan pemeriksaan dan mengambil
keputusan atas hal-hal yang tercantum dalam Pasal 25 ayat (4), (7), (8) dan
(11) Ordonansi Kapal (S. 1935 No. 66). Ketentuan dimaksud adalah:
a. Ayat
(4):
“Direktur Jenderal Perhubungan Laut dapat,
jika terjadi bencana kapal yang berat, mengundang Mahkamah Pelayaran untuk mengadakan
pemeriksaan tentang sebab-sebab terjadinya bencana itu, juga tentang kesalahan
orang-orang yang bersangkutan, dan jika perlu tentang kecakapan orang yang bersangkutan”.
b. Ayat
(7):
“Jika bagi Mahkamah pelayaran dalam
pemeriksaan ternyata bahwa bencana disebabkan karena tiundakan atau kelalian
dari nakhoda atau seorang Perwira kapal, maka Mahkamah Pelayaran dapat memberi
hukuman disiplin kepadanya dengan hukuman teguran atau mencabut wewenang untuk
kapal Indonesia yang berlayar di perairan luar selama waktu tertentu, tidak
lebih dari 2 tahun”.
c. Ayat
(8):
“Jika telah mengadakan pemeriksaan
Mahkamah Pelayaran berpendapat, bahwa Nakhoda atau Perwira kapal yang kecakapannya
diragukan, tidak cakap, maka Mahkamah Pelayaran dengan keputusan yang disertai
dengan alasan yang kuat dapat menyatakan yang bersangkutan tidak berwenang untuk
tugas dalam satu atau lebih jabatan tertentu di kapal Indonesia yang berlayar
di perairan luar”.
d. Ayat
(11)
“Berdasarkan fakta-fakta yang diketahui
kemudian atau keadaankeadaan khusus atas usulan Direktur Jenderal Perhubungan Laut,
juga permohonan yang berkepentingan atau pengusaha pelayaran pada siapa ia
terkahir bekerja, oleh Mahkamah Pelayaran dapat dikembalikan wewenang yang
dicabut kepada yang berkepentingan berdasarkan ketentuan dalam ayat (8), jika Mahkamah
Pelayaran berpendapat bahwa ia cakap kembali untuk memenuhi tugas-tugas
jabatannya”.
2.
Memutuskan mengenai hal-hal yang diatur
dalam Pasal 373a KUH Dagang, yang yaitu dalam hal seorang nakhoda melakukan
sesuatukesalahan terhadap kapal, muatan atau penumpang. Pasal 373a KUHD
menyatakan sebagai berikut:
”Nakhoda yang tidak dengan suatu cara telah bersikap
tidak pantas terhadap kapal, muatan dan para penumpang, dengan keputusan
Mahkamah Pelayaran dapat dicabut wewenangnya untuk berlayar sebagai nakhoda
kapal Indonesia, selama waktu tertentu yang tidak lebih dari 2 tahun”.
Perlu
dijelaskan bahwa ketentuan yang dimaksud oleh pasal tersebut adalah bahwa
pengaduan harus dilakukan oleh Pengusaha Kapal atau penumpang yang
bersangkutan, yang harus dimasukkan dalam jangka waktu 3 minggu setelah tibanya
kapal di tempat pertama sesudah terjadinya perbuatan melawan hukum yang
dilakukan oleh Nakhoda atau Perwira Kapal.
3.
Melakukan pemeriksaan dan atau mengambil
keputusan dalam semua hal yang oleh undang-undang dibebankan kepadanya.
Mahkamah tidak dapat mengambil keputusan lain selain mengenai hal yang telah ditetapkan
menurut peraturan yang berlaku dan menjadi tugasnya untuk memeriksa atau
mengerjakannya.
Selanjutnya
juga dikemukakan dalam Pasal 25 ayat (5) Ordonansi Kapal-Kapal 1935 tersebut
bahwa:
“Mahkamah Pelayaran
wajib memenuhi undangan Direktur Jenderal Perhubungan Laut”
Dengan
ketentuan tersebut, Mahkamah Pelayaran dalam menjalankan tugasnya semata-mata
hanya atas undangan yang disampaikan oleh Direktur Jenderal Perhubungan Laut.
Namun, hasil pemeriksaannya tidak dilaporkan atau dipertanggungjawabkan kepada
Direktur Jenderal, melainkan kepada Menteri Perhubungan.
Adapun susunan
keanggotaan Mahkamah Pelayaran menurut Ordonansi Mahkamah Pelayaran S. 1934-215
adalah sebagai berikut:
a.
Seorang Perwira Tinggi Angkatan Laut atau
Nakhoda Pelayaran Besar Niaga/Negara bertindak sebagai Ketua merangkap anggota;
b.
Tiga orang nakhoda Pelayaran Besar
Niaga/Negara atau Perwira Menengah Angkatan Laut sebagai Anggota;
c.
Seorang Sarjana Hukum sebagai Anggota
d.
Seorang ahli Mesin Kapal Kepala atau
Perwira Menengah Teknik Angkatan Laut sebagai Anggota Luar Biasa
e.
Seorang Sarjana Hukum sebagai
Sekretaris.
Dalam
Pasal 2 Ordonansi yang bersangkutan juga dikemukakan bahwa untuk mengisi
jabatan-jabatan tersebut dapat pula diangkat perwira purnawirawan atau
pensiunan pegawai dalam pangkat atau keahlian yang sama apabila tidak terdapat
tenaga-tenaga yang masih dalam dinas aktif. Dalam hal Ketua atau Sekretaris
berhalangan dalam menjalankan tugasnya, Mahkamah Pelayaran memilih salah
seorang anggota untuk menjadi Ketua atau Sekretaris. Pengangkatan dan
pemberhentian Ketua, para Anggota dan Sekretaris Mahkamah Pelayaran ditetapkan
oleh Menteri Perhubungan. Selama beberapa waktu, Ketua, anggota dan Sekretaris
Mahkamah Pelayaran terdiri dari Nakhoda Pelayaran Besar Niaga dan ahli hukum
dari kalangan sipil.
Tata cara persidangan Mahkamah Pelayaran diatur secara rinci dalam Ordonansi.
Berkaitan dengan sidang-sidangnya, menurut Pasal 3, Mahkamah bersidang di
Jakarta setiap kali ada keperluan dan dipimpin oleh Ketua, yang para anggotanya
dipanggil pada waktunya oleh Sekretaris. Setelah menerima undangan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 25 ayat (4) Ordonansi Kapal 1935, atau
pengaduan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 373a KUHD, Mahkamah Pelayaran segera
bersidang dan mengadakan pemeriksaan. Sidang Mahkamah terbuka untuk umum,
kecuali jika diputuskan, dengan alasan yang disebutkan dalam surat keputusan,
sidang dilakukan secara tertutup baik sebagian ataupun seluruhnya.
Selanjutnya
juga ditetapkan bahwa keputusan Mahkamah Pelayaran diambil di dalam sidang yang
terbuka, dan harus memuat alasan-alasan yang menjadi landasannya. Keputusan
Mahkamah serta pelaksanaannya dinyatakan sebagai tidak terikat kepada cara dan
bentuk lain selain yang ditetapkan dalam ordonansi. Juga bila dianggap perlu
berdasarkan alasan apapun, Mahkamah dapat, membentuk sebuah komisi dari
kalangan mereka untuk melakukan penyelidikan setempat. Komisi ini terdiri dari
tiga orang.
C. MAHKAMAH
PELAYARAN MENURUT KETENTUAN PERATURAN
PERUNDANG-UNDANGAN
NASIONAL
Setelah
Proklamasi Kemerdekaan 17 Agustus 1945, pengaturan pelayaran di wilayah
perairan Indonesia masih diatur dengan Ordonansi Pelayaran Indonesia (Indische
Scheepvaartswet Staatsblad 1936-700). Pengaturan ini menjadi payung bagi
sejumlah peraturan perundangundangan nasional yang mengatur pelayaran, meskipun
di dalamnya tidak ada ketentuan rinci mengenai Mahkamah Pelayaran.
Pengaturan
tentang tugas pokok dan fungsi Mahkamah Pelayaran hingga saat ini masih
tersebar dalam beberapa peraturan perundangundangan nasional Indonesia.
Beberapa peraturan yang memuat pengaturan tentang Mahkamah Pelayaran dapat
disebutkan, antara lain:
1.
UU No. 21 Tahun 1992 tentang Pelayaran;
2.
Peraturan Pemerintah Nomor 1 Tahun 1998
Tentang Pemeriksaan Kecelakaan Kapal;
3.
Peraturan Pemerintah Republik Indonesia
Nomor 8 Tahun 2004 Tentang Perubahan Atas Peraturan Pemerintah Nomor 1 Tahun
1998 Tentang Pemeriksaan Kecelakaan Kapal.
4.
PP No. 51 Tahun 2002 Tentang Perkapalan
1.
Undang-Undang Nomor 21 Tahun 1992 tentang
Pelayaran
Undang-Undang
Nomor 21 Tahun 1992 tidak mengatur secara tegas Mahkamah Pelayaran dalam
pasal-pasalnya. Pasal 93 undang-undang ini hanya menyebutkan mengenai
kewenangan sebuah lembaga yang ditunjuk oleh pemerintah, yang berwenang untuk
memeriksa sebabsebab terjadinya kecelakaan. Lembaga Mahkamah Pelayaran ini ditegaskan
sebagai murni lembaga pemerintah dan bukan sebuah lembaga peradilan sebagaimana
diatur dalam UU Pokok Kekuasaan Kehakiman.
Pasal 93 Undang-Undang
Nomor 21 Tahun 1992 menyatakan sebagai berikut:
(1)
Terhadap setiap kecelakaan kapal diadakan pemeriksaan oleh pejabat pemerintah
yang berwenang untuk mengetahui sebabsebab terjadinya kecelakaan.
(2)
Terhadap hasil pemeriksaan tersebut pada ayat (1) dapat diadakan pemeriksaan
lanjutan untuk diambil keputusan oleh lembaga yang ditunjuk untuk itu.
(3)
Ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dan ayat (2) diatur lebih lanjut
dengan Peraturan Pemerintah.
Penjelasan Pasal 93
ayat (2) menyatakan sebagai berikut:
(2) Yang dimaksud dengan lembaga dalam ayat ini
adalah lembagapemerintah, bukan lembaga peradilan sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 10 Undang-undang Nomor 14 Tahun 1970 tentang Pokok-pokok Kekuasaan
Kehakiman. Lembaga tersebut berwenang melakukan pemeriksaan lanjutan untuk
mengambil keputusan atas kecelakaan kapal :
a. kapal
tenggelam;
b. kapal
terbakar;
c. kapal
tubrukan yang mengakibatkan kerusakan berat;
d. kecelakaan
kapal yang menyebabkan terancamnya jiwa manusia dan kerugian harta benda;
e. kapal
kandas dan rusak berat.
Lembaga
dimaksud bertugas terbatas pada menjatuhkan sanksi berupa hukuman administratif
yang berkaitan dengan profesi kepelautan, yang pada saat Undang-undang ini
ditetapkan disebut Mahkamah Pelayaran. Sebagaimana dikemukakan dalam Pasal 93
UU No. 21 tahun 1992 tentang Pelayaran di atas, Mahkamah Pelayaran merupakan
lembaga yang ditunjuk untuk melakukan pemeriksaan lanjutan terhadap kecelakaan
kapal. Pemeriksaan dilakukan untuk mengetahui sebab-sebab terjadinya kecelakaan
kapal dan/atau menentukan ada atau tidaknya kesalahan atau kelalaian dalam
penerapan standar profesi kepelautan yang dilakukan oleh Nakhoda atau pimpinan
kapal dan/atau Perwira Kapal dalam kaitan terjadinya kecelakaan kapal. Hasil
pemeriksaan tersebut kemudian akan dipakai sebagai pedoman langkah-langkah yang
diperlukan untuk mencegah terjadinya kecelakaan kapal dengan sebab-sebab kecelakaan
yang sama. Di saping itu, pemeriksaan dimaksudkan sebagai suatu bentuk
pembinaan dan pengawasan bagi tenaga profesi kepelautan.
Pemeriksaan
kecelakaan menurut ketentuan Pasal 93 UU No. 21/1992 tersebut menyangkut dua
bentuk, yaitu:
a. Pemeriksaan
kecelakaan kapal pendahuluan (BAPP) yang dilakukan oleh pejabat yang ditunjuk
oleh Menteri, dalam hal ini dilakukan oleh Syahbandar atau pejabat lainnya.
Pemeriksaan ini dimaksudkan untuk mencari keterangan atau bukti-bukti awal
terjadinya kecelakaan kapal.
b. Pemeriksaan
lanjutan dilaksanakan berdasarkan hasil evaluasi oleh pejabat yang disebut
dalam butir (a) di atas, yaitu bahwa berdasarkan pemeriksaan pendahuluan ada
dugaan kesalahan atau kelalaian dalam penerapan profesi kepelautan yang
dilakukan oleh Nakhoda atau pemimpin kapal dan/atau perwira kapal atas
terjadinya kecelakaan tersebut. Dalam kaitan ini pemeriksaan lanjutan dilakukan
Mahkamah Pelayaran.
Pasal 93 ayat (2) UU No. 21/1992
menyebutkan pula bahwa dalam suatu peristiwa kecelakaan kapal terkandung dua
aspek, yaitu:
1). Aspek pelayaran:
a) Bidang
Nautis Teknis
Bidang nautis teknis adalah mencari sebab-sebab terjadinya
kecelakaan kapal, seperti: terbakar, tubrukan, tenggelam, kebocoran, kandas,
terbalik dan sebagainya.
b.) Bidang Disiplin
Bidang
disiplin ini menetapkan hukuman terhadap pihakpihak yang terkait, setelah
diketahui secara nyata bersalah mengakibatkan kecelakaan kapal.
c).
Bidang Administrasi
Bidang
administrasi ini adalah menetapkan dan menjatuhkan hukuman terhadap Nakhoda
dan/atau pimpinan kapal yang ternyata dengan jelas dan pasti setelah dilakukan
pemeriksaan, melakukan perbuatan yang tidak pantas terhadap kapal, muatan atau
penumpangkapal.
2). Aspek Pidana
Suatu
kecelakaan kapal yang mengakibatkan kerugian harta benada dan jiwa manusia,
yang diduga disebabkan oleh adanya kelalaian dan/atau kesengajaan dari
Nakhoda/pimpinan kapal dan atau perwira kapal lainnya.
3). Aspek Perdata
Akibat
yang timbul dari suatu peristiwa kecelakaan atau bencana kapal adalah adanya
tuntutan ganti rugi yang diajukan pihakpihak yang merasa dirugikan, seperti
pemilik kapal, operator kapal, pemilik muatan atau barang dan penumpang,
sebagai akibat kecelakaan kapal.
2.
Peraturan
Pemerintah Nomor 1 Tahun 1998 Tentang Pemeriksaan
Kecelakaan Kapal.
Peraturan
Pemerintah Nomor 1 Tahun 1998 Tentang Pemeriksaan Kecelakaan Kapal merupakan
pelaksanaan dari Pasal 93 UU No. 21 tahun 1992 tentang Pelayaran. Peraturan
Pemerintah ini selain merupakan atribusi dari UU No. 21 Tahun 1992, juga
merupakan upaya pembaruan terhadap ketentuan-ketentuan yang telah ada
sebelumnya yang terpisah-pisah dalam beberapa peraturan, yaitu:
a)
Ordonansi Kapal Tahun 1935;
b)
S. 1947 – 66 mengenai
perubahan/penyempurnaan tugas dan wewenang, pemeriksaan dalam sidang dan
pembela/kuasa hukum tersangkut, dan pemeriksaan kembali;
c)
S. 1949 – 103 tentang perubahan
perijinan pemberitahuan bagi Ketua, Anggota dan Sekretaris dari Raad voor de
Scheepvaart yang akan pergi ke luar kota;
d) Keputusan
Presiden no. 28 tahun 1971 tentang Perubahan Susunan keanggotaan Mahkamah
Pelayaran, yang kemudian diubah lagi dengan Keputusan Presiden No. 32 tahun
1984 tentang Susunan Keanggotaan Mahkamah Pelayaran;
e)
Keputusan Menteri Perhubungan No. PM
3/U/PHB-74, tanggal 6 Agustus 1974, yang mengatur Tata Cara Kerja dan Hubungan antara
departemen Perhubungan dengan Mahkamah Pelayaran;
f)
Keputusan Menteri Perhubungan No. PM
57/U/PHB-74, tanggal 6 Agustus 1974, yang mengatur tentang Kedudukan Pelayaran
dan Sekretariat Mahkamah Pelayaran, yang disempurnakan kembali dengan Keputusan
Menteri Perhubungan No. 57/OT/PHB-78, tanggal 8 Maret 1978;
g)
Keputusan Menteri Perhubungan No. KM
109/U/PHB-82 tentang Petunjuk Umum untuk Syahbandar
Peraturan
Pemerintah No. 1 tahun 1998 terdiri dari 7 Bab dan 60 pasal. Menurut PP ini
kecelakaan kapal meliputi kapal tenggelam, kapal terbakar, kapal tubrukan,
kecelakaan kapal yang menyebabkan terancamnya jiwa manusia dan kerugian harta
benda, dan kapal kandas. Lingkup berlakunya pemeriksaan kecelakaan kapal
menurut PP ini adalah semua kecelakaan kapal yang terjadi di wilayah perairan Indonesia
dan kecelakaan kapal berbendera Indonesia yang terjadi di luar wilayah perairan
Indonesia.
Kecelakaan
kapal yang diperiksa menurut Pasal 2 PP No. 1 tahun 1998 adalah kecelakaan
kapal sebagaimana dimaksud dalam penjelasan Pasal 93 UU No. 21 tahun 1992.
sedangkan ketentuan pemeriksaan terhadap kecelakaan kapal yang terjadi di
perairan Indonesia merupakan upaya tanggap terhadap banyaknya kapal berbendera
asing yang berada di perairan Indonesia. Karena dengan banyaknya kapal
berbendera asing yang masuk ke wilayah Indonesia maka potensi terjadinya
kecelakaan kapal di wilayah ini kemungkinan akan meningkat. Atas dasar
pertimbangan ini, maka ketentuan pemeriksaan kecelakaan kapal dianggap perlu
diterapkan terhadap lalu lintas kapal-kapal yang memasuki atau sedang berada di
perairan Indonesia, sekalipun kapal-kapal yang mengalami kecelakaan itu berbendera
asing.
Pemeriksaan
kecelakaan kapal meliputi pemeriksaan pendahuluan dan pemeriksaan lanjutan.
Ketentuan ini sama dengan ketentuan tentang pemeriksaan kapal dalam Ordonansi
Raad voor de Sheepvaart S.1934 No. 215.. Pasal 4 PP No. 1 tahun 1998 menyatakan
bahwa setiap orang yang berada di atas kapal yang mengetahui di kapalnya
terjadi kecelakaan kapal sesuai batas kemampuannya, wajib melaporkan kecelakaan
kapal kepada syahbandar pelabuhan terdekat atau perwakilan Republik Indonesia
terdekat. Pasal 5 PP ini mengatakan bahwa nakhoda atau pemimpin kapal yang (a)
kapalnya mengalami kecelakaan kapal; (b) menyebabkan kapal lain mendapat kecelakaan
kapal; (c) mengetahui kapal lain mendapatkecelakaan kapal; dan (d) membawa awak
kapal atau penumpang darikapal yang mengalami kecelakaan kapal. wajib
melaporkan adanyakecelakaan kapal kepada syahbandar terdekat, dan juga
kepadaperwakilan pemerintah Republik Indonesia terdekat apabila peristiwa kecelakaan
tersebut terjadi di luar wilayah perairan Indonesia.
Atas
dasar laporan kecelakaan kapal, pejabat yang memiliki kewenangan untuk
melakukan pemeriksaan pendahuluan kecelakaan kapal adalah (1) Syahbandar; dan
(2) pejabat pemerintah yang ditunjuk oleh Menteri Perhubungan. Hasil
pemeriksaan pendahuluan dituangkan dalam Berita Acara Pemeriksaan Pendahuluan
yang disampaikan secara tertulis kepada Menteri Perhubungan dengan dilampiri
kesimpulan hasil pemeriksaan pendahuluan, yakni memuat pendapat mengenai
sebab-sebab kecelakaan.
Jika
Menteri berpendapat bahwa ada dugaan kesalahan atau kelalaian dalam menerapkan
standar profesi kepelautan yang dilakukan oleh Nakhoda yang menyebabkan
terjadinya kecelakaan kapal, maka dalam jangka waktu 14 hari setelah
diterimanya laporan pemeriksaan pendahuluan kecelakaan kapal, Menteri meminta
Mahkamah Pelayaran untuk melakukan pemeriksaan lanjutan kecelakaan kapal.
Hasil
pemeriksaan lanjutan oleh Mahkamah Pelayaran dalam jangka waktu 180 hari
disampaikan kepada Menteri Perhubungan dan para pihak yang terkait dengan
kecelakaan kapal.
3.
Peraturan
Pemerintah Nomor 8 Tahun 2004 Tentang Perubahan
Atas
Peraturan Pemerintah Nomor 1 Tahun 1998 Tentang Pemeriksaan Kecelakaan Kapal. Peraturan
Pemerintah ini pada dasarnya tidak mengubah secara substansial kewenangan
Mahkamah Pelayaran, akan tetapi hanya mengubah beberapa ketentuan dalam
Peraturan Pemerintah Nomor 1 Tahun 1998 tentang Pemeriksaan Kecelakaan Kapal,
khususnya menyangkut organisasi Mahkamah Pelayaran. Ketentuan yang diubah adalah
Pasal 23, Pasal 24, Pasal 28, dan penambahan Pasal 57A yang berkaitan dengan
masa pensiun personel Mahkamah Pelayaran. Ketentuan Pasal 23 berkaitan dengan
Susunan Mahkamah Pelayaran. Menurut Pasal 23 (baru) tersebut, susunan Mahkamah Pelayaran
adalah sebagai berikut:
a.
Mahkamah Pelayaran dipimpin oleh seorang
Ketua.
b.
Untuk dapat diangkat sebagai Ketua
Mahkamah Pelayaran, seorang calon harus:
1) memenuhi
persyaratan sebagai Anggota Mahkamah Pelayaran;
2) memenuhi
persyaratan untuk menduduki jabatan struktural sesuai dengan ketentuan
peraturan perundang-undangan yang berlaku bagi Pegawai Negeri Sipil
Selanjutnya
Peraturan Pemerintah No. 8 tahun 2004 mengubah ketentuan Pasal 24 PP No. 1
tahun 1998 tentang jumlah Anggota Mahkamah Pelayaran. Dalam ketentuan yang
baru, jumlah anggota Mahkamah Pelayaran sebanyak-banyaknya 15 (lima belas)
orang yang mempunyai kualifikasi pendidikan sebagai berikut:
a.
Sarjana Hukum;
b.
Ahli Nautika Tingkat II;
c.
Ahli Teknika Tingkat II; atau
d.
Sarjana Teknik Perkapalan.
Perubahan
Pasal 28 adalah terkait dengan syarat-syarat yang harus dipenuhi untuk dapat
diangkat menjadi Anggota Mahkamah Pelayaran. Menurut ketentuan yang baru,
seorang calon harus memenuhi persyaratan :
a.
bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa;
b.
setia kepada Pancasila dan Undang-Undang
Dasar 1945;
c.
memiliki masa kerja sebagai Pegawai
Negeri Sipil sekurangkurangnya 12 (dua belas) tahun;
d.
memiliki kualifikasi pendidikan sebagai
Sarjana Hukum, Ahli Nautika Tingkat II, Ahli Teknika Tingkat II atau Sarjana
Teknik Perkapalan.
Bagi
calon Anggota Mahkamah Pelayaran yang memiliki kualifikasi pendidikan sebagai
Ahli Nautika Tingkat II atau Ahli Teknika Tingkat II, yang bersangkutan
dipersyaratkan telah mengikuti pendidikan dan pelatihan Kesyahbandaran Tingkat
I dan Marine Inspector Tingkat A.
4. Peraturan Pemerintah Nomor 51 Tahun
2002 Tentang Perkapalan
Pengaturan
tentang tugas wewenang Mahkamah Pelayaran juga diatur dalam PP No. 51 Tahun
2002 Tentang Perkapalan. Pasal 88 PP ini menyatakan sebagai berikut:
1. Setiap
terjadi kecelakaan kapal, nakhoda dan atau pemilik kapal pada kesempatan
pertama wajib melaporkannya kepada syahbandar di pelabuhan terdekat atau kepada
perwakilan Republik Indonesia terdekat apabila kecelakaan terjadi di luar negeri.
2. Untuk
setiap kecelakaan kapal sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) wajib diadakan
pemeriksaan oleh pejabat yang ditunjuk oleh Menteri.
3. Hasil
pemeriksaan sebagaimana dimaksud dalam ayat (2), dibuat dalam berita acara
pemeriksaan pendahuluan dan apabila perlu dapat dibuat dalam berita acara
pemeriksaan tambahan.
4. Hasil
pemeriksaan kecelakaan kapal sebagaimana dimaksud dalam ayat (3) harus
dievaluasi dan dinilai dengan tujuan :
a.
meningkatkan penyelenggaraan keselamatan
kapal;
b.
menentukan apakah sertifikat kapal yang
bersangkutan masih dapat diberlakukan;
c.
menentukan perlu tidaknya dilakukan
pemeriksaan lanjutan.
5. Berita
acara pemeriksaan pendahuluan dan/atau berita acara pemeriksaan tambahan,
setelah dilengkapi dokumen dan data pendukung lainnya sehubungan dengan
terjadinya kecelakaan kapal dikirimkan kepada Menteri paling lambat 14
(empatbelas) hari terhitung sejak tanggal pemeriksaan berakhir.
6. Ketentuan
lebih lanjut mengenai tata cara pelaporan, pemeriksaan kecelakaan kapal,
pembuatan berita acara sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), ayat (2), ayat (3)
dan ayat (4) diatur dengan Keputusan Menteri.
Selanjutnya
dalam ketentuan Pasal 89 PP tersebut dinyatakan sebagai berikut:
a) Terhadap hasil pemeriksaan kecelakaan kapal
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 88 dapat dilakukan pemeriksaan lanjutan oleh
Mahkamah Pelayaran.
b) Pemeriksaan
lanjutan oleh Mahkamah Pelayaran sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dilakukan
untuk mengambil keputusan tentang sebab-sebab terjadinya kecelakaan kapal dan menjatuhkan
sanksi administrasi terhadap awak kapal.
c) Ketentuan
lebih lanjut mengenai lembaga, tata cara pemeriksaan kecelakaan kapal
sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dan ayat (2) diatur tersendiri dalam
Peraturan Pemerintah.
5.
Rancangan
Undang-Undang Pengganti UU No. 21 tahun 1992 tentang Pelayaran
Pada
saat ini RUU tentang Pelayaran, yang akan menggantikan UU No. 21 tahun 1992
tentang Pelayaran, sudah disusun. Dari beberapa Pasal dalam RUU tersebut
terlihat ada upaya untuk membuat pengaturan yang lebih menyempurnakan ketentuan
menyangkut Mahkamah Pelayaran yang sebelumnya belum diatur secara rinci dalam UU
No. 21 tahun 1992 tentang Pelayaran. Ketentuan dalam RUU tersebut adalah
sebagai berikut:
a.
Pasal 112
“Setiap
kecelakaan kapal diadakan pemeriksaan oleh pejabat pemerintah yang berwenang
untuk mengetahui sebab-sebab terjadinya kecelakaan kapal.”
b.
Pasal 113
(1)
Pemeriksaan kecelakaan kapal sebagaimana dimasud dalam Pasal 112t dilaksanakan
oleh:
a. Syahbandar,
setelah menerima laporan kecelakaan kapal dari pelapor;
b. Pejabat
Pemerintah yang ditunjuk setelah menerima laporan kecelakaan kapal dari
Pimpinan Perwakilan Republik Indonesia dan/atau dari pejabat Pemerintah negara
setempat yang berwenang.
(2).
Pemeriksaan pendahuluan kecelakaan kapal sebagaimana dimaksud dalam ayat (1)
dilaksanakan untuk mencari keterangan dan/atau bukti-bukti awal atas terjadinya
kecelakaan kapal.
(3).
Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pemeriksaan pendahuluan kecelakaan
kapal diatur dengan Peraturan Pemerintah.
c.
Pasal 114
1)
Terhadap hasil pemeriksaan kecelakaan
kapal sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dapat diadakan pemeriksaan lanjutan
untuk diambil keputusan oleh Mahkamah Pelayaran yang bersifat independen.
2)
Dalam melaksanakan pemeriksaan lanjutan
kecelakaan kapal sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), Mahkamah Pelayaran
bertugas :
a. meneliti
sebab-sebab kecelakaan kapal dan menentukan ada atau tidak adanya kesalahan
atau kelalaian dalam penerapan standar profesikepelautan yang dilakukan oleh
Nahkoda ataupemimpin kapal dan/atau perwira kapal atas terjadinya kecelakaan
kapal;
b. menjatuhkan
sanksi administratif kepada Nahkoda atau pemimpin kapal dan/atau perwira kapal
yang memiliki sertifikat keahlian Pelaut yang dikeluarkan oleh Pemerintah yang
melakukan kesalahan atau kelalaian dalam menerapkan standar profesi kepelautan.
3) Dalam pemeriksaan lanjutan, pemilik kapal atau
operator kapal wajib menghadirkan nakhoda atau pimpinan kapal dan/atau anak
buah kapal.
4) Untuk
dapat memberikan keputusan yang sebaik-baiknya, Mahkamah Pelayaran dapat
menghadirkan pejabat pemerintah di bidang keselamatan pelayaran dan pihak pihak
terkait lainnya.
5) Ketentuan
sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), ayat (2), ayat (3) dan ayat (4) diatur
lebih lanjut dengan Peraturan Pemerintah.
d.
Pasal 116
1) “Mahkamah
Pelayaran berwenang memeriksa tubrukan yang terjadi antara kapal niaga dengan
kapal negara termasuk kapal perang.
2) “Ketentuan
sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) diatur lebih lanjut dengan Peraturan
Pemerintah.”
Pengaturan
tentang Mahkamah Pelayaran dalam RUU pelayaran ini memang tidak terlalu rinci,
dan mengatribusikan pengaturan selanjutnya kepada Peraturan Pemerintah. Namun,
satu hal yang perlu dicatat sebagai kemajuan di sini adalah bahwa dalam RUU
Pelayaran ini setidak-tidaknya sudah diatur secara tegas tugas dan fungsi
Mahkamah Pelayaran dalam ketentuan batang tubuh undang-undang. Hal ini berbeda
dengan ketentuan yang tercantum dalam UU No. 21 Tahun 1992 yang hanya
menyebutkan tugas dan fungsi Mahkamah Pelayaran dalam penjelasan.
BAB
III
ANALISIS
KOMPETENSI DAN YURISDIKSI
MAHKAMAH
PELAYARAN
A.
PERAN
DAN FUNGSI MAHKAMAH PELAYARAN DALAM
MENINGKATKAN
KESELAMATAN PELAYARAN DI INDONESIA
Sebagai
negara kepulauan dengan dua per tiga wilayah yang terdiri dari perairan, aspek
pelayaran tentunya merupakan hal yang sangat penting bagi Indonesia. Wilayah
perairan kepulauan Indonesia pun merupakan jalur utama pelayaran dunia,
sehingga memerlukan penanganan secara khusus, terutama dari segi pengaturan
secara hukum, sehingga aktivitas pelayaran dapat berjalan sesuai dengan standar
dan komitmen internasional serta kepentingan nasional.
Masalah
pelayaran telah diatur dalam Undang-Undang No. 21 tahun 1992 tentang Pelayaran.
Dalam Bab I Ketentuan Umum dinyatakan bahwa pelayaran adalah segala sesuatu
yang berkaitan dengan angkutan di perairan, kepelabuhan, serta keamanan dan
keselamatannya. Pelayaran sebagai salah satu moda transportasi diselenggarakan
dengan tujuan memperlancar arus perpindahan orang dan/atau barang melalui
perairan dengan mengutamakan dan melindungi pelayaran nasional, dalam rangka
menunjang, menggerakkan, dan mendorong pencapaian tujuan pembangunan nasional, memantapkan
perwujudan wawasan nusantara serta memperkukuh ketahanan nasional.
Dalam
kenyataannya, pelayaran nasional masih dibelit berbagai masalah. Banyak faktor
melingkupinya, seperti lemahnya kepedulian (awareness) dari pemilik kapal dan
perusahaan dalam menerapkan sistem keselamatan yang efektif serta implementatif
di lapangan. Kelaiklautan kapal hanya berorientasi pada sertifikasi yang
notabene hanya macan kertas saja. Sementara pengawasan dari pemerintah terhadap
pelaksanaan dan pemenuhan persyaratan-persyaratan keselamatan pelayaran tidak
konsisten.
Saut
Gurning, ahli maritim dari ITS mengemukakan bahwa kisruhnya manajemen pelayaran
di Indonesia selama ini ini diakibatkan oleh fokus strategi bisnis yang
mengandalkan rendahnya biaya, namun tidak memperhatikan kepentingan penumpang
dan pengguna jasa kapal. Mayoritas kapal yang beroperasi di perairan Indonesia
sampai saat ini adalah kapalkapal tua dengan umur di atas 8,5 tahun.
Kapal-kapal “uzur” itu pun dikelola oleh sumber daya manusia yang
profesionalismenya rendah.
Kelayakan
kapal mensyaratkan bangunan kapal dan kondisi mesin dalam keadaan baik. Nakhoda
dan anak buah kapal harus berpengalaman dan bersertifikat. Perlengkapan, store
dan bunker, serta alat-alat keamanan kondisinya memadai dan memenuhi syarat.
Disamping itu, selama pelayaran di laut kapal tidak mencemari lingkungan. Akan
tetapi, semua persyaratan itu hampir tidak pernah dipenuhi.
Menurut
konsep dasar keselamatan pelayaran, kapal yang hendak berlayar harus berada
dalam keadaan laik laut (seaworthy). Artinya, kapal yang bersangkutan secara
teknis telah diperiksa dan dianggap layak untuk menghadapi berbagai resiko dan
kejadian secara wajar dalam pelayaran. Kapal tersebut juga layak menerima
muatan dan mengangkutnya serta dalam keadaan yang mampu melindungi keselamatan
muatan, penumpang, dan anak buah kapal (ABK)-nya.
Oleh
karena itu, pemerintah perlu membuat mekanisme pengawasan track record kecelakaan
bagi perusahaan pelayaran yang lalai mengindahkan aturan keselamatan dengan
konsekuensi pada perizinan perusahaan tersebutUntuk menjamin kelaiklautan
kapal, kesulitan kapitalisasi perusahaan pelayaran dalam meremajakan dan
memelihara armada kapal perlu didukung oleh aksesibilitas pendanaan.
Laporan-laporan
kecelakaan pelayaran didominasi oleh permasalahan teknis (terbalik dan
tabrakan) akibat aktivitas operasi yang tidak reliable. Di kapal-kapal itu
alat-alat keselamatan tidak dipelihara sehingga menurut penelitian pada umumnya
tiga dari empat alat keselamatan tidak berfungsi. Kondisi kapal seperti ini
terutama pada kapal yang melayani pelayaran penumpang dan penyeberangan.
Sementara
itu, penanganan insiden kecelakaan kapal masih bersifat administratif dan
dokumentatif yang tidak menyelesaikan akar permasalahan keselamatan pelayaran.
Sebagai negara kepulauan terbesar di dunia, negeri ini juga belum memiliki
“Mahkamah Maritim” seperti di negara-negara lain. Akibatnya, saat terjadi
kecelakaan kasus perkara kecelakaan kapal diajukan ke Peradilan Umum. Namun
karena baik Hakim maupun Jaksa yang menangani perkara demikian tidak terlalu
memahami masalah yang menjadi penyebabnya, maka keputusan pengadilan mengenai
masalah hukum yang timbul dari kecelakaan kapal sering dianggap tidak
memuaskan.
Memberdayakan
lembaga pemeriksa kecelakaan kapal yang ada saat ini, yaitu Mahkamah Pelayaran,
juga bukan masalah mudah. Mengingat statusnya dan kewenangannya saat ini
Mahkamah Pelayaran masih jauh dari harapan menjadi sebuah Mahkamah/Peradilan
Maritim, karena hanya dapat memberikan penindakan displin, tindakan ini pun
hanya terhadap nakhoda, sementara untuk pihak seperti Administratur Pelabuhan
hanya dalam bentuk surat saja karena penindakan terhadap pejabat tersebut merupakan
kewenangan Direktorat Jenderal Perhubungan Laut.
Jumlah Putusan Mahkamah
Pelayaran Menurut jenis Kecelakaan Kapal
Jenis kecelakaan
|
Tahun
|
Rata-rata kenaikan
|
2000
|
2001
|
2002
|
2003
|
2004
|
Tenggelam
|
8
|
13
|
6
|
13
|
10
|
-8,13
|
Tubrukan
|
3
|
4
|
6
|
8
|
11
|
-33,90
|
Kandas
|
15
|
8
|
2
|
3
|
9
|
5,24
|
Terbakar
|
6
|
5
|
5
|
2
|
3
|
3,33
|
Lain-lain
|
3
|
0
|
0
|
1
|
3
|
-16,67
|
Jumlah Total
|
35
|
33
|
19
|
27
|
36
|
-1,62
|
Sumber:
Mahkamah Pelayaran Sekretariat Jenderal Dep. Perhubungan
B.
ISTILAH
“MAHKAMAH PELAYARAN”
Istilah
Mahkamah (Court atau Tribunal) sesungguhnya lebih tepat digunakan oleh satu
lembaga dalam bidang peradilan yang memiliki kedudukan, tugas, dan wewenang
hukum yang supreme atau tertinggi, seperti Mahkamah Agung atau Mahkamah
Konstitusi. Oleh karena itu, banyak kalangan yang mengkritik istilah “mahkamah”
dipergunakan oleh Mahkamah Pelayaran. Argumen yang dikemukakan adalah bahwa
istilah “Mahkamah” menunjukkan eksistensi sebuah lembaga yang memiliki
kompetensi dan yurisdiksi luas guna menangani persoalan-persoalan hukum yang
timbul dalam masyarakat.
Sedangkan
jika dilihat dari tugas dan fungsi dan kewenangan yang diembannya selama ini,
Mahkamah Pelayaran memang bukan sebuah lembaga peradilan setara dengan lembaga
peradilan yang ada. Hal ini pun sudah secara tegas dinyatakan dalam penjelasan
Pasal 93 ayat (2) UU No. 22 tahun 1992 tentang Pelayaran. Mahkamah Pelayaran
hanyalah sebuah lembaga pemerintah
yang ditunjuk untuk melakukan pemeriksaan terhadap kecelakaan kapal.
Ditinjau
dari aspek kelembagaannya, Mahkamah Pelayaran berada di bawah naungan
Departemen Perhubungan. Hal ini ditegaskan dalam suatu keputusan Menteri, yakni
Surat Keputusan Menteri Perhubungan Nomor: PM/U/1974 tanggal 6 Agustus 1974
yang menyatakan dalam Pasal 1, sebagai berikut:
”Bahwa
Mahkamah Pelayaran adalah suatu badan peradilan administratif di lingkungan
Departemen Perhubungan yang berdiri sendiri sesuai dengan peraturan
perundang-undangan yang berlaku”
Peraturan
perundang-undangan mengenai lembaga peradilan yang berlaku,yakni UUNo. 4 tahun
2004 tentang Kekuasaan Kehakiman, hanya mengakui keberadaan 4 (empat) lembaga
peradilan, yakni: (1) Peradilan Umum; (2) Peradilan Agama; (3) Peradilan
Militer; dan (4) Peradilan Agama. Selengkapnya, ketentuan dalam Pasal 2 UU No.
4 tahun 2004 menyatakan sebagai berikut:
“Penyelenggaraan
kekuasaan kehakiman sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 dilakukan oleh sebuah
Mahkamah Agung dan badan peradilan yang berada di bawahnya dalam lingkungan
peradilan umum, lingkunga peradilan agama, lingkungan peradilan militer,
lingkungan peradilan tata usaha negara, dan oleh sebuah Mahkamah Konstitusi.”
Dengan
kedudukannya seperti saat ini, yaitu Mahkamah Pelayaran merupakan bagian dari
Departemen Perhubungan, atau dengan kata lain sebagai salah satu bagian dari
lembaga eksekutif, tentunya Mahkamah Pelayaran sulit untuk dapat dikategorikan
sebagai sebuah lembaga peradilan. Disamping tugas dan fungsinya yang sangat
spesifik dan sempit, juga masih belum didukung dengan dasar hukum yang memadai.
Namun
demikian, upaya untuk memperluas kewenangan Mahkamah Pelayaran tampaknya sudah
mulai dilakukan. Hal ini tampak dalam materi RUU Pelayaran yang saat ini masih
disusun yang menyebutkan tentang “Mahkamah Pelayaran yang bersifat independen”
dengan kompetensi dan yurisdiksi yang diperluas, yaitu bahwa: “Mahkamah Pelayaran
berwenang memeriksa tubrukan yang terjadi antara kapal niaga dengan kapal
negara termasuk kapal perang”. Meskipun dalam kaitan pemeriksaannya Mahkamah Pelayaran
masih tetap merupakan sebuah “Mahkamah Kode Etik Profesi”. Hal ini tampak dalam
kaitan dengan keputusan Mahkamah, yaitu: “menjatuhkan sanksi administratif
kepada Nahkoda atau pemimpin kapal dan/atau perwira kapal yang memiliki
sertifikat keahlian Pelaut yang dikeluarkan oleh Pemerintah yang melakukan
kesalahan atau kelalaian dalam menerapkan standar profesi kepelautan”
Saat
ini memang sudah berkembang wacana untuk mengubah nama Mahkamah Pelayaran
menjadi “Peradilan Maritim”. Jika nama ini yang dipakai, kemungkinan untuk
lebih memperluas yurisdiksi dan kompetensi Mahkamah pelayaran lebih terbuka.
Karena dengan nama “Peradilan Maritim”, kesan yang tampak adalah sebuah lembaga
peradilan yang memiliki fungsi dan wewenang yang lebih luas, yakni tidak hanya
memeriksa dan mengadili Nakhoda dan/atau Perwira kapal yang dianggap telah
melanggar profesi kepelautan, akan tetapi juga sebagai sebuah lembaga otonom
yang bertugas menegakkan hukum dan keadilan di bidang maritim. Hal ini kemungkinan
akan lebih mendekati terbentuknya sebuah “Admiralty Court” sebagaimana yang ada
di negara-negara lain yang sudah terlebih dahulu mengembangkan bentuk peradilan
ini.
Untuk
mewujudkan gagasan tersebut, memang bukan sesuatu yang tidak mungkin. Akan
tetapi perlu dilakukan berbagai upaya pembenahan di dalam lingkungan Mahkamah
Pelayaran itu sendiri, baik berkaitan dengan landasan hukum, kelembagaannya,
dan juga kualitas SDM-nya.
C.
UPAYA
KE ARAH PENINGKATAN YURISDIKSI DAN KOMPETENSI MAHKAMAH PELAYARAN
Dikaitkan
dengan hal-hal yang dikemukakan di atas, sedikitnya ada empat hal yang
berkaitan dengan masalah peningkatan kompetensi dan yurisdiksi Mahkamah Pelayaran
sebagai sebuah lembaga “peradilan pelayaran” yang independen, yaitu:
a. Sejauhmana
pengaturan mengenai tugas dan fungsi Mahkamah Pelayaran dapat memfasilitasi
lembaga ini untuk menjalankan tugas dan fungsinya sebagai sebuah “Peradilan”
atau lembaga yang bertugas menyelesaikan segala aspek yang terkait dengan perkara
kecelakaan kapal?;
b. Sejauhmana
perangkat kelembagaan dan sumberdaya manusia sudah mendukung ke arah
pembentukan lembaga “peradilan” pelayaran atau maritim?
c. Kendala-kendala
apa saja yang menghambat pelaksanaan tugas dan fungsi Mahkamah Pelayaran dalam
melaksanakan tugasnya?
d. Sejauhmana
urgensi peningkatan yurisdiksi dan kompetensi Mahkamah Pelayaran untuk menjadi
lembaga ”peradilan” tersendiri ?
1.
Yurisdiksi
Mahkamah Pelayaran
Meskipun
sudah diatur dalam beberapa peraturan perundangundangan,sesungguhnya yurisdiksi
dan kompetensi MahkamahPelayaran di Indonesia sangat terbatas. Mahkamah
Pelayaran yang adasaat ini hanya dapat memberikan penindakan disiplin, atau
dalam bahasa
UU No. 22 tahun 1999 “...bertugas terbatas pada menjatuhkan sanksi berupa
hukuman administratif yang berkaitan dengan profesi
kepelautan...”.
Mahkamah Pelayaran berwenang melakukan
pemeriksaan
lanjutan untuk mengambil keputusan atas kecelakaan
kapal,
antara lain menjatuhkan sanksi berupa hukuman/tindakan administratif
yang berkaitan dengan profesi kepelautan, di dalam
kasus-kasus:
a. kapal
tenggelam;
b. kapal
terbakar;
c. kapal
tubrukan yang mengakibatkan kerusakan berat;
d. kecelakaan
kapal yang menyebabkan terancamnya jiwa manusia dan kerugian harta benda;
e. kapal
kandas dan rusak berat.
Dalam
peraturan Pemerintah Nomor 1 tahun 1998 tentang Kecelakaan Kapal dinyatakan
tugas Mahkamah Pelayaran, sebagai berikut:
1.
mempelajari sebab-sebab terjadi kecelakaan
kapal untuk menentukan apakah ada kesalahan atau kelalaian dalam menerapkan
standar profesional kepelautan yang dilakukan nakhoda atau pemimpin kapal dan
awak kapal lainnya.
2.
menetapkan hukuman administratif pada nakhoda
atau pemimpin kapal dan/atau awak kapal lainnya yang memiliki ijazah yang
dikeluarkan oleh pemerintah Indonesia yang melakukan perbuatan kekeliruan atau
kelalaian dalam menjalankan standar profesional kepelautan.
Dalam
kaitan hal-hal tersebut, Mahkamah Pelayaran hanyamemberikan sanksi
administratif yang dapat berupa teguran tertulis,penangguhan sementara ijazah
pihak yang bersalah, setelah melaluiproses persidangan di muka Mahkamah
termasuk tata cara pembuktiandan kesaksian.
Jika
melihat kepada aturan-aturan yang melandasi MahkamahPelayaran, jelas bahwa
Mahkamah Pelayaran saat ini bukan merupakanbadan peradilan, dan kedudukannya
pun tidak dalam lingkunganPeradilan Umum. Dengan demikian, sesungguhnya
MahkamahPelayaran tidak memiliki yurisdiksi untuk memutus perkara yangberkaitan
dengan aspek keperdataan (seperti tanggung jawabpengangkut, ganti rugi atau
kompensasi ekonomi) atau aspek pidana,sekalipun timbul dalam kaitan dengan
kecelakaan kapal, karena masalah-masalah ini merupakan yurisdiksi Peradilan Umum.
Olehsebab itu, yurisdiksi dan kompetensi Mahkamah Pelayaran belum
dapatdisetarakan dengan sebuah lembaga peradilan maritim, atau yang
lazimdisebut Mahkamah Maritim atau Admiralty Court, yang ada di beberapa negara,
seperti di Inggris dan Amerika Serikat. Jika dilihat tugasnya, admiralty court
memiliki yurisdiksi sangat luas, yaitu:
“Admiralty
courts, also known as maritime courts, are courtsexercising jurisdiction over
all maritime contracts, torts, injuries andoffenses .....”
Sementara
jika kita lihat Mahkamah Admiralti (Admiralty Court) meskipun objek
yurisdiksinya sama, yaitu berkaitan dengan terjadinya insiden kecelakaan kapal,
akan tetapi kewenangannya memang jauh lebih lengkap. Hal ini memang dapat
dimaklumi, karena perjalanan yang ditempuh oleh sebuah Mahkamah Admiralti di
Inggris, misalnya, sudah sangat lama, yakni sejak Abad ke-14. Berikut ini
adalah kutipan yang berkaitan dengan keberadaan dan sejarah Mahkamah Pelayaran
di Inggris.
Mengingat
bahwa intensitas pelayaran di wilayah perairan Indonesia diperkirakan akan
lebih meningkat, yang bukan saja melibatkan kapal-kapal berbendera Indonesia
akan tetapi juga kapalkapal asing, maka potensi terjadinya insiden pelayaran
bukan mustahil juga akan lebih meningkat. Untuk itu, di masa datang perlu dipikirkan
mengenai keberadaan sebuah lembaga pengadilan maritim yang memiliki yurisdiksi
dan kompetensi yang luas, seperti yang dimiliki oleh Mahkamah Maritim (Maritime
Court atau Admiralty Court) di negaranegara lain.
Lembaga
peradilan maritim ini perlu memiliki yurisdiksi yang mencakup semua aspek hukum
yang ditimbulkan dari kegiatan pelayaran, tetapi tidak terbatas hanya persoalan
yang sifatnya administratif profesi kepelautan dan teknis pelayaran melainkan
juga bisa menangani masalah-masalah keperdataan, ekonomi, pidana, lingkungan
dan juga administrasi. Pembentukan institusi peradilan maritim ini dianggap
sangat mendesak, karena saat ini dunia peradilan di Indonesia sedang menjalani
proses pembaruan, khususnya berkenaan dengan perbaikan kinerja dan manajemen
lembaga peradilan yang sudah ada. Rencana beberapa kalangan untuk membentuk
pengadilan-pengadilan khusus terus berjalan, seperti rencana pembentukan
Pengadilan Lingkungan, Pengadilan Pencuri Kayu, Pengadilan Perindustrian,
Pengadilan Profesi Kedokteran, Pengadilan Hubungan Industrial, dan Pengadilan Perikanan.
Dua pengadilan yang disebut terakhir bahkan telah mempunyai dasar hukum yang
memerintahkan pembentukannya, yaitu UU No. 2/2004 tentang Penyelesaian
Perselisihan Hubungan Industrial dan UU No. 31/2004 tentang Perikanan.
Alasan
yang tak kalah penting adalah dengan semakin pesatnya kemajuan teknologi, serta
semakin kompleksnya persoalan-persoalan hukum, terutama di bidang-bidang yang
sangat spesifik seperti korupsi, lingkungan hidup, tata niaga, pajak, profesi
kedokteran, perikanan, pelayaran dan lain-lain, dibutuhkan suatu lembaga
peradilan yang lebih profesional yang didukung oleh SDM yang benar-benar
menguasai persoalan-persoalan khusus tersebut.
2.
Kompetensi
Mahkamah Pelayaran
Dasar-dasar
pertimbangan di atas berlaku pula pada di bidang maritim atau pelayaran.
Penanganan kasus-kasus maritim selama ini dinilai tidak berjalan secara
optimal. Hal ini dapat dilihat misalnya bagaimana instansi-instansi yang
terkait dengan penegakan hukum di bidang pelayaran atau maritim pada umumnya
belum berjalan secara sinergis.
Dari
aspek kelembagaan, saat ini sangat diperlukan perbaikan dan penyempurnaan institusi untuk lebih meningkatkan kompetensi Mahkamah Pelayaran dalam manangani
perkara-perkara kecelakaan kapal.
Saat
ini, dengan hanya satu Mahkamah Pelayaran yang berkedudukan terpusat di Jakarta, maka akan banyak kendala yang timbul dalam penanganan
perkara-perkara yang menjadi kompetensinya.
Dengan pemusatan penyelesaian perkara di
Mahkamah pelayaran Jakarta, maka kemungkinan masalah yang timbul adalah:
a.
Birokrasi akan memperlambatnya
penyerahan perkara yang datang dari daerah-daerah ke Mahkamah pelayaran, karena
harus terlebih dahulu disampaikan ke Departemen Perhubungan, Direktorat
Jenderal Perhubungan Laut, baru ke tangan Mahkamah Pelayaran.
b.
Kesulitan untuk menghadirkan pihak-pihak
yang terkait dengan peristiwa kecelakaan kapal di Mahkamah Pelayaran, karena pemeriksaan
dilakukan di tempat yang relatif jauh dari tempat kejaian perkara (TKP)
sehingga akan menimbulkan kendala untuk memperoleh cukup bukti yang diperlukan.
c.
Jumlah dan kualitas Hakim Mahkamah
Pelayaran masih belum sebanding dengan luasnya lingkup tugas Mahkamah
Pelayaran, sehingga perkara yang sudah masuk pun belum tentu dapat ditangani
dalam waktu segera. Dengan demikian dapat dipastikan akan terjadi penumpukan
perkara, sehingga sejumlah kasus kemungkinan baru dibuka setelah bertahun-tahun
terjadi.
Upaya
ke arah metode “jemput bola” memang sudah dirintis oleh Mahkamah Pelayaran,
dengan menggelar sidang di daerah. Sebagai contoh, Mahkamah Pelayaran
mendatangkan Tim Maklumat dari Jakarta untuk menggelar sidang di Padangbai,
Karangasem, Bali, guna mengungkap sebab-sebab tenggelamnya Kapal Motor
Penyeberangan (KMP) Wimala Dharma (WD) di perairan Selat Lombok 7 September 2003.
Ini agak berbeda dengan kasus tenggelamnya kapal di Selat Bali (Ketapang-Gilimanuk)
tahun 1995, yang sidangnya dilaksanakan di Jakarta.
Akan
tetapi, untuk lebih mengefektifkan mekanisme persidangan di daerah ini pun seharusnya
dilakukan pembenahan mekanisme kerja Mahkamah, antara lain dengan membentuk
kepaniteraan Mahkamah Pelayaran di setiap Provinsi, yakni di setiap Kantor
Administrator Pelabuhan. Kepaniteraan daerah ini bertugas untuk melakukan pemeriksaan
pendahuluan dan melengkapi bukti-bukti sebagai persiapan persidangan di daerah.
Dengan cara ini, kemungkinan penanganan perkara-perkara kecelakaan kapal akan
lebih cepat, karena berkas-berkas perkara tidak selalu harus dikirim ke Jakarta
dan melalui jalur birokrasi yang kadang-kadang berbelit-belit.
Sebagaimana
diketahui dan telah dikemukakan di atas, Mahkamah Pelayaran mempunyai tugas
untuk memeriksa dan memutuskan tentang perkara yang berkaitan dengan kecelakaan
kapal. Materi pokok dari putusan Mahkamah Pelayaran terutama berkaitan dengan
masalah nautis teknis, dan bentuk sanksi yang dijatuhkan adalah sanksi
administratif terhadap Nakhoda atau pemimpin kapal, dan perwira kapal yang
dianggap bersalah dalam kasus kecelakaan terkait.
Keputusan-keputusan
Mahkamah Pelayaran yang dihasilkan dari rangkaian proses persidangannya umumnya
memuat tentang aspekaspek teknis kapal, antara lain:
a.
Kapal, surat kapal dan pengawakan kapal;
b.
Keadaan cuaca;
c.
Penumpang dan/atau muatan kapal;
d.
Sarat dan stabilitas kapal;
e.
Navigasi dan olah gerak;
f.
Sebab kecelakaan kapal;
g.
Upaya penyelamatan
h.
Kesalahan dan/atau kelalaian.
Namun,
sebagaimana umumnya diketahui, dalam suatu kasus kecelakaan kapal, disamping
aspek teknis nautis juga ada aspek-aspek lain yang tidak kalah pentingnya,
yakni aspek perdata dan/atau pidana. Aspek-aspek tersebut, jika melihat aturan
tentang yurisdiksi Mahkamah Pelayaran, memang bukan bidang yang menjadi
tanggung jawab dari Mahkamah ini, akan tetapi merupakan yurisdiksi lembaga peradilan
umum. Sebagai contoh, apabila dalam suatu kecelakaan kapal terbukti ada unsur
kesengajaan dari Nakhoda atau pemimpin kapal sehingga menimbulkan korban, baik
jiwa maupun harta benda. Maka dalam kasus ini berkas perkara diserahkan kepada
pihak kepolisian, yang akan menyidik perkara dan memeriksa Nakhoda/pemimpin
kapal atas dasar persangkaan melakukan tindak pidana. Sementara itu, dalam
kaitan dengan kerugian yang ditimbulkan, maka keputusan tentang ganti rugi bagi
pihak-pihak yang dirugikan akan diputuskan oleh pengadilan. Dalam kedua hal
tersebut, Mahkamah Pelayaran tidak lagi memiliki peranan. Dalam beberapa kasus
kecelakaan kapal yang menimbulkan kerugian harta benda, seringkali keputusan
Mahkamah Pelayaran tidak memberikan perhatian yang cukup, misalnya kepada siapa
gugatan ganti rugi itu harus ditujukan. Berikut adalah cuplikan berita surat
kabar tentang perkara kecelakaan kapal motor Lucky Lady, yang sedikit banyak
dapat menjadi salah satu contoh dari hal ini:
Kasus Pencemaran Minyak MT Lucky
Lady DisidangkanCILACAP - Mahkamah Pelayaran, kemarin, menyidang kasuskebocoran
kapal MT Lucky Lady pada Jumat, 10 September. Hadir nakhoda kapal, kepala kamar
mesin, mualim, dan petugas pandu dari Adpel Pelabuhan Cilacap. Majelis hakim
diketuai Capt Conrad Siahaan, dengan anggota Capt TW Gerilyanto, M Sidik S Amk,
W Koesbini Laking, I Ketut Pariyasa SH, dan Daryanto SH. Tersangkut (atau
tersangka dalam peradilan pidana) adalah nakhoda kapal MT Lucky Lady,
Panagiotis Eragkou. Sekitar tiga jam hakim menanyakan pada nakhoda kapal
berbendera Republik Malta itu kronologi dan penyebab kecelakaan yang mengakibatkan
pencemaran di perairan Cilacap. Hakim menanyakan posisi kapal, waktu, dan
kondisi cuaca saat kapal menyerempet batu karang sehingga lambung depan kanan
robek. Majelis juga bertanya tentang data diri nakhoda untuk mengukur
kapabilitas nakhoda dalam menjalankan kapal. Dalam sidang diketahui MT Lucky
Lady bocor di buoy 3 alur masuk Pelabuhan Cilacap. Saat itu kapal membelok kiri
mengikuti alur masuk. Namun karena ketajaman belokan ditambah dorongan angin, lambung
kanan depan kapal menyerempet karang sehingga robek dan membuat sekitar 9.000
barel minyak mentah tertumpah ke laut. Petugas pandu saat kejadian baru masuk
ke bouy 0, sementara kapal sudah berada di bouy 3. Berarti saat itu kapal sudah
masuk alur masuk pelabuhan saat petugas pemandu baru bersiap memberikan
panduan. Kepala Administrasi Pelabuhan Cilacap, Syamsuddin S, menyatakan sidang
mahkamah pelayaran diadakan sebagai kelanjutan penyidikan oleh Adpel. ''Sidang
juga diadakan agar kasus ini segera selesai. Ini perlu karena makin lama
ditunda kian banyak pihak dirugikan.'' Dia mengemukakan sidang itu khusus untuk
menyidangkan kecelakaan MT Lucky Lady dari sisi keamanan maritim. Adapun sidang
tuntutan dari pihak yang dirugikan akibat pencemaran, seperti nelayan dan
Pemerintah Kabupaten Cilacap, tak dimasukkan sidang mahkamah pelayaran. Sidang
dijadwalkan dilanjutkan hari ini. MT Lucky Lady bocor, Jumat (10/9), setelah
menabrak karang di alur masuk Pelabuhan Cilacap. Tak lama setelah itu, perairan
Cilacap terutama di sekitar Teluk Penyu dan Benteng Pendem tercemari minyak
mentah. (G21-86)
Bagi
pihak yang merasa dirugikan (pemilik kapal, operator kapal, pemilik muatan kapal, dan penumpang kapal) dengan adanya suatu peristiwa kecelakaan kapal, tentunya
keputusan-keputusan yang sifatnya
administratif seperti menjatuhkan skorsing terhadap Nakhoda atau pemimpin kapal, bukan sesuatu yang penting. Bagi pihak ini yang terpenting adalah bagaimana agar
kerugian yang ditimbulkan oleh peristiwa
itu dapat diberikan kompensasi atau ganti rugi. Kerugian demikian tidak selalu identik dengan hilang atau rusaknya muatan kapal (loss atau damage) dan kerusakan/
kehilangan kapal, akan tetapi juga
kerugian yang timbul berkaitan dengan kelambatan (delay) pengiriman barang/muatan, atau juga kerugian ekonomi (economic damages) yang tidak terkait langsung
dengan kapal, seperti pencemaran laut
oleh bahan-bahan yang berasal dari kapal, seperti bahan bakar kapal atau kerusakan lingkungan. Para nelayan, pengusaha perhotelan dan pengelola
wisata bahari yang tidak dapat melakukan
aktivitasnya karena perairan tempat mereka beraktivitas tercemar jelas akan mengalami kerugian. Mereka tidak akan tertarik dengan masalah-masalah teknis nautis,
yang terpenting adalah bagaimana
memperoleh kompensasi yang pantas atas kerugian ekonomi yang dideritanya.
Mahkamah
Pelayaran memang tidak dimaksudkan untuk dapat memecahkan masalah-masalah seperti ini. Beberapa kali telah dikemukakan di atas bahwa lembaga ini
bukan merupakan lembaga yudikatif,
sehingga masalah ganti rugi merupakan yurisdiksi dari badan peradilan umum. Persoalannya, apakah lembaga peradilan umum saat ini telah mampu memberikan putusan yang
dianggap adil untuk masalah ini ?
Persoalan-persoalan
yang menyangkut dunia maritim/ pelayaran tidak
sama dengan persoalan-persoalan hukum yang terjadi di daratan. Untuk dapat memutuskan suatu perkara
yang berkaitan dengan pelayaran, maka
hakim-hakim tidak cukup hanya menguasai peraturan hukum saja, akan tetapi juga memahami seluk beluk pelayaran. Hakim-hakim pengadilan maritim
(Admiralty Court) di Inggris, misalnya, umumnya
hakim senior yang disamping memiliki latar belakang penguasaan hukum maritim atau pengangkutan laut juga menguasai bidang teknis pelayaran. Hal demikian
tampaknya belum bisa diharapkan dari
hakim-hakim pengadilan di Indonesia.
Dari
sisi lain putusan Mahkamah Pelayaran tentang teknis nautis memang memiliki kegunaan bagi perkembangan Hukum Maritim, misalnya:
a. Putusan
tersebut merupakan keterangan ahli tentang sebab-sebab terjadinya kecelakaan
kapal;
b. Sebagai
dasar pertimbangan hukum dalam suatu perkara pidana yang timbul dari suatu
peristiwa kecelakaan kapal;
c. Sebagai
dasar untuk mengajukan gugatan/klaim ganti rugi perdata bagi pihak yang
dirugikan;
d. Menjadi
catatan kondite Nakhoda dan perwira kapal.
Kedudukan
anggota yang merupakan “hakim-hakim” Mahkamah Pelayaran saat ini sesungguhnya
sangat strategis dalam kaitan pengembangan lembaga ini sebagai “Pengadilan
Maritim” Indonesia di masa datang. Peraturan Pemerintah nomor 8 tahun 2004 tentang
Perubahan Atas Peraturan Pemerintah Nomor 1 Tahun 1998 Tentang Pemeriksaan
Kecelakaan Kapal, mensyaratkan hakim-hakim Mahkamah Pelayaran memiliki
kualifikasi yang lengkap, baik dalam pengetahuan hukum (harus seorang Sarjana
Hukum) maupun pengetahuan teknis pelayaran (Ahli Nautika, Ahli Teknika atau
Sarjana Teknik Perkapalan). Ketentuan dalam PP No. 8 tahun 2004, antara lain mengubah
ketentuan Pasal 28 PP No.1 Tahun 1998, sebagai berikut:
(1)
Untuk dapat diangkat menjadi Anggota Mahkamah Pelayaran, seorang calon harus
memenuhi persyaratan:
a. bertaqwa
kepada Tuhan Yang Maha Esa;
b. setia
kepada Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945;
c. memiliki
masa kerja sebagai Pegawai Negeri Sipil sekurang-kurangnya 12 (dua belas)
tahun;
d. memiliki
kualifikasi pendidikan sebagai Sarjana Hukum, Ahli Nautika Tingkat II, Ahli
Teknika Tingkat II atau Sarjana Teknik Perkapalan.
(2)
Bagi calon Anggota Mahkamah Pelayaran yang memiliki kualifikasi pendidikan
sebagai Ahli Nautika Tingkat II atau Ahli Teknika Tingkat II, yang bersangkutan
dipersyaratkan telah mengikuti pendidikan dan pelatihan Kesyahbandaran Tingkat
I dan Marine Inspector Tingkat A.”
Peningkatan
kompetensi anggota Mahkamah Pelayaran sebagai ”hakim” dalam suatu perkara
kecelakaan kapal masih perlu ditingkatkan, sehingga Mahkamah tidak saja
memutuskan aspek teknis tetapi juga memulai pemeriksaan aspek pidana maritim
dan perdata maritimnya. Hal ini penting karena Mahkamah bukan mustahil dalam suatu
kasus kecelakaan kapal mampu memutus bukan saja dari aspek teknis akan tetapi
juga memutuskan tentang siapa yang harus bertanggung jawab secara pidana maupun
perdata, sehingga memudahkan pihak yang dirugikan untuk mengajukan tuntutan
atau gugatan ke pengadilan umum. Meskipun untuk efektifnya putusan tersebut
harus dikukuhkan melalui putusan pengadilan umum.
Dari
aspek karir sebagai anggota Mahkamah Pelayaran, tampaknya hingga saat ini
Mahkamah kurang memiliki daya tarik yang signifikan bagi kalangan staf di
lingkungan Departemen Perhubungan. Mengingat bahwa hingga saat ini tidak ada
kejelasan status anggota Mahkamah Pelayaran (yang berjumlah 15 orang anggota)
apakah sebagai pejabat strutural ataukah pejabat fungsional. Hal ini berbeda dengan
status dalam Kepaniteraan Mahkamah Pelayaran yang jelas memiliki struktur
eselon yang jelas.